Mengatur Parpol Dalam UU Pemilu

Manadosiana.net – Putusan Mahkamah Konstitusi No 55/PUU-XVII/2019 berpotensi menjadi pintu masuk terintegrasinya UU Pilkada dalam UU Pemilu yang akan di revisi DPR RI tahun ini. Bagi MK, pemilihan serentak Presiden/wakil Presiden dan Pileg bukan satunya konstitusional. MK pun menawarkan sejumlah varian pemilihan yang juga konstitusional.

Jika akhirnya kedua UU itu terintegrasi, maka UU pemilu akan mencakup pemilihan Presiden/Wakil Presiden, Pemilihan Legislatif, dan Pemilihan Kepala Daerah. Meski akan diatur dalam satu UU, namun perlu diatur soal pemisahan keserentakan. Wacana yang paling rasional adalah pemisahan pemilu nasional untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI dan pemilu lokal untuk memilih Kepala Daerah dan DPRD. Selain mengatur tahapan, UU Pemilu juga mencakup pengaturan soal kriteria. Seperti kriteria penyelenggara, kriteria calon, dan kriteria pemilih.

Selama ini kriteria-kriteria itu sudah diberlakukan dalam UU 7/2017. Jika parpol pada akhirnya terintegrasi dengan UU pemilu maka secara otomatis parpol akan tunduk pada azas-azas pemilu. Selama ini sebagai peserta pemilu parpol terkesan liar tanpa terkendali. Tak ada yang mengawasi apakah parpol benar-benar melakukan proses pendidikan politik secara sistematis.

Parpol mengelola anggaran bantuan baik dari APBN maupun APBD. Anggaran itu bertujuan untuk memperkuat kelembagaan parpol terutama dalam mempersiapkan calon-calon pejabat publik baik untuk legislatif maupun untuk eksekutif. Namun tak jelas siapa yang harus mengawasi penggunaan anggaran itu apakah peruntukannya tidak disalahgunakan.

Audit yang dilakukan pihak BPK bukan dalam ranah itu. Audit dilakukan hanya untuk memastikan penggunaan dan pertanggungjawabannya tidaklah fiktif. Proses pencalonan baik untuk Pilpres, pileg maupun Pilkada tidaklah jelas bagaiamana mekanismenya. Padahal UU 2/2011 tentang parpol menyebutkan mekanisme seleksi harus dilakukan secara terbuka dan transparan. Untuk memastikan apakah parpol menjalankan mekanisme jujur dan adil dalam proses politik sepertinya perlu pengaturan.

Kewenangan Bawaslu perlu diperluas jauh sebelum tahapan berjalan. Pemilihan ketua parpol baik di pusat maupun di daerah terendus kabar kerap terjadi jual beli suara. Namun tindakan itu tidak ada satupun lembaga yang mengawasi dan menindak. Kewenangan DKPP sebagai penegak kode etik penyelenggara perlu dipikirkan untuk diperkuat sampai pada kode etik penyelenggaraan pemilu. Hal ini dimaksudkan agar penegakan kode etik bisa juga menyasar sampai pada proses internal parpol.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *