- Siapakah Aktor Dibalik Prosesi Sumpah Pemuda?
Bagi sebagian civitas gerakan saat ini yang berbasis nasionalis, mungkin jarang terdengar nama Dr. Johannes Leimena (Akrab disapa Om Jo). Beliau adalah tokoh nasionalis yang mendasarkan diri pada pergerakan oikumene 1920-an di Hindia Belanda hingga banyak terlibat dalam momentum nasional yang sangat penting.
Lahir pada 6 Maret 1905 dan berlatar belakang pendidikan dokter di STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen), cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang masih berada pada masa-masa perjuangan bangsa Indonesia, membuat Om Jo terpanggil sebagai ‘pelayan’ terhadap persoalan bangsa yang sedang ia hadapi saat itu. Percayakan ioleh Soekarno dan soeharto sebagai menteri paling banyak selama 20 Tahun tanpa terputus.
Aktivitas Om Jo dalam mengikutsertakan gereja dalam pergerakan oikumene di Hindia Belanda, mengantarkan Om Jo menuju pentas nasional dalam rangka turut terlibat pada gerakan-gerakan nasional. Bergabung dengan Cristelijke Studenten Vereeniging (CSV), cikal-bakal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Leimena prihatin karena umat Kristen kala itu tidak cukup peduli terhadap nasib bangsa. Pada 1926, ia turut mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung.
Sampai suatu waktu saat Om Jo menjadi menteri dalam kepemimpinan soekarno, ia pun berada pada keadaan di mana ‘Pemimpin Besar Revolusi Indonesia’ itu sempat menyampaikan bahwa Om Jo adalah mijn dominee (pendeta ku). Ucapan soekarno itu disadari atas sikap dan tindakan Om jo yang sangar ramah, sederhana dan berintergritas. Kesederhanaan Om Jo itulah yang perlu kita ketahui bersama tidak terlepas dari momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
- Bagaimana peranan Om Jo Dalam Prosesi Sumpah Pemuda?
Bila menyimak ke belakang, spirit dan warna gerakan kepemudaan tidak akan pernah lekan oleh zaman. Sebelum itu, upaya untuk mempersatukan gerakan kepemudaan untuk terlibat terhadap nasib bangsa ini telah dimulai sejak tahun 1926 yang menjadi awal pelaksanaan Kongres Pemuda pertama, maka pada 20 Februari 1927 diadakan pertemuan, namun pertemuan ini belum mencapai hasil yang final.
Kemudian pada 3 Mei 1928 diadakan pertemuan lagi, dan dilanjutkan pada 12 Agustus 1928. Pada pertemuan terakhir ini dihadiri semua organisasi pemuda dan diputuskan untuk mengadakan Kongres pada bulan Oktober 1928, dengan susunan panitia dengan setiap jabatan dibagi kepada satu organisasi pemuda (tidak ada organisasi yang rangkap jabatan). Ketua panitia adalah Sugondo Djojopuspito dari Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI). Om Jo sebagai wakil Jong Ambon menjadi Pembantu IV dalam kepanitiaan tersebut.
Namun tidak sampai disitu, nyatanya berlanjut sampai pada tanggal 28 Oktober 1928 yang kita kenal bersama sebagai hari Sumpah Pemuda.
Adalah Om Jo menjadi salah satu dari 10 orang yang mengikrarkan diri pada suatu sumpah sebagai ‘satu tanah air Indonesia’ yang di mana Om Jo hadir sebagai delegasi dari Jong Ambon sampai akhirnya bertemu juga dengan Mohammad Yamin yang menjadi penggagas dasar negara Indonesia di kemudian hari dan W.R Supratman yang di kemudian hari juga dinobatkan menjadi pencipta lagu ‘Indonesia Raya’ di Kongres Pemuda II yang dihadiri oleh Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Celebes,
Dikutip dari Wikipedia.com, dengan keaktifannya di Jong Ambon, ia ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Perhatian Leimena pada pergerakan nasional kebangsaan semakin berkembang sejak saat itu.
Seberapa Pengarukah Nilai-Nilai Juang Sumpah Pemuda Pada Tahun 2020 Ini?
Kelahiran serta eksistensi dari Sumpah Pemuda, nyatanya telah membawa semangat akan cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi masyarakat yang satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Ikrar sumpah inilah yang kemudian patut untuk direfleksikam mengingat pada tahun 2020 ini banyak kejadian yang telah menyimpang jauh dari spirit Sumpah Pemuda.
Dengan melihat tahun ini banyak pemuda yang terafilasi ke dalam organisasi kemahasiswaan mengikutsertakan diri dalam partisipasi pendapat terhadap kebijakan pemerintah sebagai bentuk kepedulian terhadap arah dan gerak bangsa ini, namun tragisnya tindakan mulia pemuda-pemudi ini belum dapat diterima oleh pihak lain sebagai tindakan yang baik untuk bangsa saat ini.
Hal ini dibuktikan dengan selain terdapat banyak tindakan represif oleh oknum aparat pada saat massa aksi saat menyampaikan pendapat pada awal bulan Oktober 2020. Seperti dilansir pada webside KontraS, di Jakarta, 8 Oktober 2020, aparat memukul mundur massa aksi menggunakan tembakan gas air mata meskipun aksi berjalan dengan kondusif dan waktu masih menunjukkan sekitar pukul 5 sore. Dilanjutkan dengan sweeping massa aksi disertai dengan pemukulan, penembakan gas air mata ke rumah-rumah warga di area Cikini dan Kwitang pada 8 Oktober dan 13 Oktober. Menyerang mobil ambulans sekaligus penangkapan disertai pemukulan terhadap relawan medis. Penangkapan disertai dengan pemaksaan untuk mengakui bahwa ambulan berisi batu pada 13 Oktober 2020
ada pula di mana salah satu pihak kampus yang tidak memberikan izin bahkan melarang pada oknum organisasi untuk turun ke jalan dalam merefleksikan nilai-nilai juang dari pada prosesi Sumpah Pemuda saat ini.
Terkikisnya nilai-nilai juang serta semangat yang menyertai dari prosesi Sumpah Pemuda, berimplikasi pada berbagai sektor, salah satunya demokrasi di Indonesia. Tindakan pembungkaman berpendapat di muka umum, tindakan represif dari oknum aparat yang tidak terpuji, serta intimidasi terhadap penggerak massa aksi, pengamcaman akan memberhentikan beasiswa, mahasiswa akan di drop out (DO) dan intimidasi lainnya membuat kualitas dari implementasi nilai Sumpah Pemuda dapat dikatakan sangat tidak sehat.
Masih Relevankah Nilai-Nilai Juang Sumpah Pemuda Untuk Menjawab Setiap Tantangan Dan Kebutuhan Zaman?
28 Oktober 1928 menjadi hari di mana terucap kalimat pengakuan terhadap satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yang sejatinya merupakan sebuah kekuatan dan ‘firman’ bagi kehidupan menggerakkan dan tergerak dalam berbangsa dan bernegara Indonesia.
Sangat penting untuk merefleksikan tindakan historis dari aktor prosesi Sumpah Pemuda. Tetapi, perlu dilihat kembali bagaimana saat ini nyatanya keadaan sekarang tidak seperti apa yang didambahkan oleh pendahuluh kita di tahun 1928.
Evaluasi perlu dilakukan sebagai bentuk tindakan taktis untuk menyusun strategi dalam menjawab tantangan zaman kedepan. Hal yang perlu dievaluasi dan saran kedepan adalah :
- Melemahnya potret Sumpah Pemuda kepada berbagai elemen, baik Pemuda, maupun penyelenggara negara. Perlu memperkuat kembali sprit dan nilai serta keadaan yang mewarnai prosesi Sumpah Pemuda agar tertanam jiwa patriot dalam diri masing-masing kita semua.
- Sumpah Pemuda jarang menjadi rujukan atas segala aktivitas keseharian negara secara keseluruhan. Perlu untuk menginterpretasikan spirit dan nilai itu dalam tindakan kita sehari-hari baik dalam pergaulan sosial, maupun dalam pembuatan kebijakan oleh negara.
- Menurunnya gerak simpul-simpul kepemudaan serta belum adanya inovasi dari Pemuda untuk membuat suatu tindakan historis yang dapat dimungkinkan menjadi pijakan dari giat-giat gerakan kepemudaan. Perlu untuk meningkatkan gerakan kepemudaan yang berguna bagi negara dan tetap dan harus menjadi mitra kritis atas berbagai persoalan zaman.
Akhirnya, Penulis teringat kembali dengan pernyataan dari tokoh Republik Indonesia, “Kemewahan terakhir yang dimiliki oleh Pemuda, adalah idealisme”. Tetap menjadi pemuda yang menjadi penggerak terhadap arah dan gerak bangsa ini. (*)
Penulis : Imanuel Mahole, SH
Komentar