Manadosiana.net – Sabtu (21/03), Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan menunda tahapan Pemilihan Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten dan Walikota (Pilkada) serentak. Sikap yang tertuang dalam Keputusan Nomor: 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 itu sebagai upaya pencegahan penyebaran Virus Corona atau COVID-19. Dengan demikian aktivitas KPU seperti pelantikan dan masa kerja panitia pemungutan suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan petugas panitia pemutakhiran data pemilih (PPDP) dan pelaksanaan pencocokan dan penelitian (Coklit), serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih ditunda.
Tak ada pelanggaran hukum atas tindakan ini, sebab hukum tertinggi adalah untuk melindungi manusia. Sabtu dua pekan lalu (14/3), seharusnya Asosiasi Ilmu Politik Indoensia (AIPI) menggelar hajatan yang amat penting. Organisasi profesi yang terdiri dari kumpulan para Ilmuwan politik yang diketuai Dr Alfitra Salamm itu sebetulnya sejak akhir tahun 2019 sudah merencanakan hajatan dialog nasional sehubungan dengan pengukuhan pengurus baru. Hotel sudah dibooking, peserta dari daerah telah memesan tiket, sebagian pengurus cabang sudah berada di Jakarta, undangan untuk pejabat telah diedarkan dan para pembicara telah menyatakan siap untuk acara yang sangat bergengsi ini. Namun untuk mendukung seruan Pemerintah dan atas kesepakatan bersama pengurus, maka kegiatan itu disepakati ditunda. Keputusan itu diambil sore hari (13/03), sehari sebelum kegiatan.
Sikap kemanusiaan yang dilakukan dua lembaga ini banyak dilakukan juga oleh lembaga-lembaga lain sebagai bentuk menghormati seruan Pemerintah sekaligus menjadi bagian mencegah proses penularan. Namun demikian sikap yang sama belum banyak dilakukan oleh komunitas lain.
Mengikuti perkembangan di media massa, tak jarang memberitakan kegiatan seremonial yang harusnya dihindari seperti masih digelarnya pesta perkawinan, kongres partai politik, kegiatan keagamaan dan perkumpulan komunitas olahraga. Restoran masih tetap penuh dengan pengunjung, rumah kopi sebagian terlihat penuh sesak, aktivitas transportasi tetap padat dan tempat perbelanjaan masih disesaki dengan pengunjung.
Entah cara apa lagi yang harus dilakukan agar masyarakat memiliki kesadaran dan kepatuhan terhadap seruan Pemerintah. Segala bentuk komunikasi publik telah dilakukan Pemerintah. Flyer berisi pesan publik disebar diberbagai media sosial, iklan-iklan tersebar di semua media. Media elektronik tak pernah lelah memberitakan termasuk iklan. Disejumlah daerah, ada kendaraan Pemerintah yang berkeliling menyeruhkan menghindari kegiatan yang mengumpulkan banyak orang. Tapi belum semuanya patuh.
Jika sebatas seruan dan anjuran tidak mempan, sebetulnya Pemerintah terkasuk Pemerintah daerah memiliki pegangan hukum untuk menjerat rakyatnya yang tidak patuh. Dalam istilah Hukum menyebut Salus Populi Suprema Lex. Artinya Keselamatan Rakyat adalah hukum Tertinggi. Jika ada tindakan yang dilakukan oleh oknum atau pihak tertentu sehingga mengancam kepentingan orang banyak, harusnya pihak itu mendapatkan hukuman yang setimpal.
Namun adakah pemimpin atau pemimpin daerah punya ketegasan soal itu. Walaupun tak harus digeneralisasi, namun sebagian besar Kepala Daerah amat kesulitan dalam mengatur atau menertibkan rakyatnya sendiri. Mereka takut untuk mengambil resiko. Mendisiplinkan rakyatanya berarti membiarkan popularitasnya terancam. Di beberapa tempat ada kelompok mayoritas masyarakat yang mengancam tidak akan memilih Walikota atau Bupatinya pada Pilkada berikutnya jika tidak merestui berdirinya suatu bagunan organisasi.
Momentum Pilkada seperti sekarang, yang dilakukan oleh para bakal calon adalah berusaha dan tetap menjaga elektabilitas. Tak ada yang berani melarang secara tegas apalagi memberi hukuman. Melarang dan mengancam kelompok keagamaan untuk beribadah, tentu sangat beresiko bagi setiap bakal calon. Maka yang bijak baginya adalah sebatas menganjurkan. Tindakan sebatas anjuran bagi masyarakat yang pasif dan tak peduli, bukan langkah yang tepat. Harus diakui salah satu efek negatif Pilkada langsung adalah sikap ketidaktegasan kepala daerah terhadap rakyatanya meski sudah melakukan pelanggaran. Jika harus bertindak tegas, resikonya adalah berkurangnya “simpati” atau dukungan.
Wajar saja jika rakyat bebas membuang sampah, mendirikan bangunan peribadatan di bukan lokasi yang layak dan berijin, membuat hajatan di jalan raya meski lalulintas terganggu, berdagang di sembarangan tempat dan aktivitas terlarang lainnya. Meski melanggar, namun tindakan ini kerap dibiarkan, karena pihak yang harusnya bertindak tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab jika bertindak maka resikonya adalah beralihnya pemilih pada calon lain.
Menjaga kekuasaan dengan mengorbankan aspek kemanusiaan bukanlah tipe ideal bagi seorang pemimpin. Membiarkan rakyat bertindak atas kepentingannya akan menjadikan rekyat makin liar. Penyebaran Virus Corona akan menjadi ujian bagi kepala daerah. Apakah dengan membiarkan rakyatanya bebas beraktivitas dengan mengancam kemanusiaan namun kekuasaan tetap aman, atau memberikan sanksi bagi mereka yang tidak patuh meski kekuasaan bisa terancam.
Korbankanlah kekuasaan itu untuk kemanusiaan, maka itulah sikap kenegarawanan sejati. Tak harus menunggu polisi harus bertindak. Suara mayoritas pemilih yang menjadikannya sebagai kepala daerah merupakan modal baginya menggunakan kekuasaan untuk menertibkan rakayatnya yang tidak bisa patuh dan peduli. Jangan pernah ragu untuk kehilangan simpati, manakalah yang diperjuangkan itu untuk kemanusiaan.(*)