Go Green Taruparwa: Monumen Seni, Bisikan Nurani, dan Simbol Luhur Bangsa

EKBIS, ENTERTAINMENT386 Dilihat

Jakarta — Ada momen ketika seni tak lagi hanya sekadar goresan kuas di atas kanvas, melainkan menjadi suara hati yang menggema jauh melampaui dinding galeri. Go Green Taruparwa hadir sebagai karya yang menyayat nurani, sebuah monumen seni yang tak hanya berbicara tentang keindahan, tetapi juga tentang persaudaraan, persatuan, dan panggilan abadi untuk menjaga bumi pertiwi.

Di tengah derasnya arus modernitas, ketika hiruk pikuk kota sering membuat manusia lupa pada akar jati dirinya, lukisan ini lahir untuk mengetuk pintu kesadaran. Ia seolah berkata lirih, namun tajam menusuk hati: bahwa bangsa ini ada karena persaudaraan yang dijaga, dan bumi ini tetap bernapas karena tangan-tangan yang merawatnya.

Seni yang Lahir dari Kesadaran Kebangsaan

Karya Go Green Taruparwa berangkat dari dua napas besar: kampanye “Kita Semua Bersaudara” dan “Go Green Taruparwa”. Dua pesan yang berbeda, namun sejatinya menyatu dalam satu benang merah: menjaga kehidupan.

Pesan “Kita Semua Bersaudara” mengingatkan kita pada hakikat Indonesia. Negeri ini tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari keragaman yang dirajut menjadi satu. Ribuan pulau, ratusan bahasa, beragam agama dan budaya — semua bersatu dalam semangat kebangsaan.

“Bangsa ini kuat karena persaudaraannya, bukan karena perbedaannya. Persaudaraan adalah jiwa Indonesia,”. Ucapan itu disambut tepuk tangan panjang, seakan membangkitkan kembali kerinduan akan persatuan yang tulus.

Sementara itu, “Go Green Taruparwa” menyerukan kewajiban yang kerap kita abaikan: merawat bumi. Dalam setiap helai daun yang layu, dalam setiap sungai yang keruh, ada tangisan yang nyaris tak terdengar. Tangisan alam yang merindukan kasih sayang manusia.

Hadirnya Tokoh Bangsa, Hadirnya Nurani

Kekuatan nilai inilah yang kemudian menghadirkan wajah-wajah besar negeri ini. Dari Ibu Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden Republik Indonesia, hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX — seorang raja sekaligus gubernur, simbol Jawa yang sarat makna persatuan. Mereka berdiri bersama para pejabat negara: gubernur, wakil gubernur, pangdam, kapolda, danrem, dandim, kapolres, bupati, hingga wali kota.

Bagi orang Jawa, bumi adalah ibu. Jika kita merusak bumi, sama saja kita melukai ibu kita sendiri

Tak hanya pejabat, para tokoh agama, tokoh adat, dan masyarakat lintas generasi ikut merapat. Mereka datang bukan karena undangan semata, melainkan karena panggilan hati.

Agama apa pun mengajarkan kasih sayang pada sesama dan alam semesta. Jika kita abai, kita sedang menolak ajaran agama itu sendiri.

Monumen Seni yang Menyayat Hati

Ketika Monumen Seni Go Green Taruparwa akhirnya berdiri, ia tak hanya berdiri sebagai bangunan fisik. Ia berdiri sebagai saksi bisu yang penuh makna.

Monumen ini bukan sekadar simbol, tapi pengingat bahwa kita pernah berjanji menjaga bumi dan persaudaraan.

Di tengah gersangnya hati manusia modern yang sibuk mengejar ambisi, monumen ini hadir bagaikan oase. Ia mengingatkan kita bahwa ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar jabatan, harta, atau kuasa: yaitu bumi yang kita pijak, dan persaudaraan yang menjaga kita tetap manusia.

Pesan Abadi untuk Generasi Mendatang

Apa arti sebuah karya seni jika ia hanya menjadi pajangan? Go Green Taruparwa menolak menjadi sekadar itu. Ia membawa pesan abadi, sebuah warisan mindset yang ingin ditanamkan untuk anak cucu bangsa.

Anak cucu kita harus mewarisi bumi yang hijau, bukan bumi yang sakit. Itulah tanggung jawab kita.

Inilah makna terdalam Go Green Taruparwa: sebuah harapan yang menyalakan api di tengah kegelapan. Bahwa Indonesia akan terus maju, bukan hanya karena pembangunan, tetapi karena persaudaraan yang kokoh dan alam yang tetap lestari.

Bisikan Nurani yang Tak Boleh Hilang

Di balik semua gegap gempita acara, ada kesenyapan yang lebih dalam. Kesenyapan ketika seseorang berdiri di depan monumen, menatapnya, lalu tersentuh tanpa bisa berkata-kata. Itulah bukti bahwa seni ini telah bekerja. Ia tidak perlu bicara keras, karena ia adalah bisikan. Bisikan yang menyayat hati, yang membuat manusia berhenti sejenak dari hiruk pikuk dan menunduk pada nuraninya sendiri.

“Mata saya berkaca-kaca ketika melihat monumen ini. Saya teringat pada anak-anak saya… akankah mereka masih melihat hutan hijau seperti yang saya lihat hari ini?” ungkap seorang ibu dari komunitas masyarakat.

Mungkin inilah yang paling dibutuhkan bangsa hari ini. Sebuah pengingat bahwa kita semua hanyalah tamu di bumi ini. Kita datang sebentar, lalu pergi. Dan selama singgah, tugas kita hanya satu: menjaga agar bumi tetap hidup, dan agar persaudaraan tetap utuh.

Seni yang Mengajarkan Kita Menjadi Manusia

Di akhir, Go Green Taruparwa mengajarkan pelajaran sederhana namun sering terlupakan: bahwa seni bisa membuat kita kembali menjadi manusia.

“Kalau seni ini tidak menyentuh hati, berarti hati kita yang telah tertutup,” kata seorang seniman muda yang ikut terlibat.

Ketika kita merawat bumi, kita sesungguhnya merawat hati kita sendiri. Dan ketika kita menjaga persaudaraan, kita sesungguhnya menjaga masa depan anak cucu.

Itulah pesan menyayat hati dari Go Green Taruparwa. Sebuah monumen seni, sebuah simbol luhur bangsa, sebuah harapan yang tak boleh padam.(***/Febry Kodongan)