manadosiana.net, MANADO – Di dunia seni rupa dan aktivisme budaya Indonesia, nama Sam Sianata (Liem Sian An) muncul bukan sekadar sebagai pelukis atau musisi biasa. Ia kini dikenal sebagai sosok “Seniman 1 Triliun”, sebuah julukan yang merujuk pada nilai dedikasi dan visi besar di balik gerakan masifnya. Namun, bagi Sam, angka tersebut bukan sekadar materi, melainkan simbol nilai kemanusiaan yang tak terhingga.
Melalui gerakan “Kita Semua Bersaudara”, Sam Sianata telah menghabiskan lebih dari seperempat abad—sejak tahun 1999—untuk mengonversi estetika menjadi aksi nyata pemersatu bangsa.
Perjalanan Sam bukan sekadar pameran di galeri eksklusif, melainkan sebuah “safari kebangsaan” yang menyentuh akar rumput di berbagai kota strategis:
Manado: Memperkuat Nafas Mapalus
Di “Kota Tinutuan”, Sam menyatukan semangat kampanye dengan nilai Mapalus (gotong royong). Lewat aksi jalan santai, pemasangan atribut visual, hingga pembagian stiker, ia menegaskan bahwa toleransi di Sulawesi Utara adalah way of life, bukan sekadar jargon.
Bali: Seni sebagai Ritual Kesadaran
Saat pandemi COVID-19 melumpuhkan pariwisata, Sam hadir di Denpasar.
Sam memadukan seni dengan aksi kemanusiaan melalui pembagian nasi bungkus. Baginya, di tanah spiritual ini, persaudaraan adalah hukum semesta yang melampaui perbedaan keyakinan.
Yogyakarta: Tahta Sosial Baru
Di tengah suhu politik yang kerap memanas, Sam menjadikan Jogja sebagai pusat refleksi intelektual.
Dia menempatkan pesan “Kita Semua Bersaudara” sebagai simbol keluhuran budi, mengingatkan bahwa bangsa yang besar dibangun di atas cinta budaya, bukan sekadar kekuasaan.
Jakarta & Balikpapan: Penyeimbang Moral.
Dari hiruk-pukuk ekonomi Balikpapan hingga pusat gravitasi politik Jakarta, Sam hadir sebagai pengingat. Di tengah polarisasi, ia membawa pesan bahwa Indonesia adalah satu keluarga besar yang tidak boleh terpecah oleh kepentingan golongan.
Karya-karya Sam Sianata berakar pada konsep Trinity Art, sebuah harmoni yang menyatukan manusia, alam, dan spiritualitas. Ia percaya bahwa seni memiliki tugas suci sebagai bahasa universal yang mampu menembus sekat agama, suku, dan latar belakang sosial.
“Seni adalah ruang keabadian. Saya tidak sedang beretorika, saya sedang bergerak agar persaudaraan menjadi nafas setiap anak bangsa.” jelas Sam Sianata.
Melalui perjalanan panjang ini, Sam Sianata telah bertransformasi menjadi sosok “seniman-negara”. Ia membuktikan bahwa karya yang paling bernilai dan bermartabat adalah karya yang mampu menyatukan hati manusia.
