Manadosiana.net – Perdebatan para ahli pemilu dan politisi DPR RI terkait apakah Pilkada merupakan rezim pemilu atau bukan, akhirnya selesai. Pekan lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan pemilu serentak adalah konstitusional. Bagi MK terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945 salah satunya adalah “Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota” (pilihan model ke-3).
Penyampaian MK ini sebagai penguatan bahwa Pilkada itu merupakan satu kesatuan dalam rezim pemilu. Tahun 2015 silam saya dilibatkan Prof Ramlan Surbakti dalam tim peneliti dan pengkaji penyusunan naskah akademik dan draft RUU Kitab Hukum Pemilu. Satu bagian yang kami sepakati adalah mengusulkan agar butuh satu UU khusus tentang pemilu yang mengatur pelaksanaan Pemilihan Presiden/wakil, Pemilihan legislatif, Pilkada dan penyelenggara pemilu. Dalam diskusi awal saya mengusulkan untuk mempertimbangkan agar UU parpol dan UU MD3 juga dalam satu kesatuan pada UU pemilu sebagimana yang mulai diwacanakan belakangan ini. Sikap MK ini berpotensi akan mengubah banyak hal.
Pertama, revisi UU pemilu masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) DPR RI tahun 2020. Sementara UU Pilkada tidak. Sikap MK ini bisa saja menjadi pegangan hukum para perumus kebijakan di DPR untuk menyatukan kedua UU itu. Pada saat perumusan UU pemilu tahun 2016, diskusi ini memang menjadi perdebatan panjang. Sebagian ahli sepakat dengan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 bahwa Pilkada dinyatakan sebagai rezim pemerintah daerah, tidak masuk dalam rezim pemilu seperti pada pasal 22e UUD 1945. Pasal itu menyebut bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kepala daerah bukan yang termasuk yang dipilih dalam pemilu.
Kedua, menjadi semacam “legal standing” MK dalam menangani perkara sengketa hasil Pilkada. Meski selama ini sengketa hasil Pilkada telah ditangani oleh MK, namun dasar hukumnya masih juga diperdebatkan. Pasal 24C UUD 1945 menyebut kewenangan MK antara lain memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, bukan hasil Pilkada. MK akhirnya menangani sengketa ini kerena Ketentuan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada hingga kini belum terpenuhi. Pasal itu menegaskan bahwa perselisihan hasil pilkada sedianya diadili oleh lembaga peradilan khusus, namun lembaga peradilan khusus itu belum ada. Atas kondisi ini maka MK mengeluarkan putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 bahwa MK berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada UU yang mengatur hal ini.
Ketiga, sikap MK ini akan melapangkan wacana pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemisahan ini untuk menjawab dua hal yakni untuk efesiensi pelaksanaan pemilu serentak secara nasional dan sinergitas Pemerintah daerah. Pengalaman pemilu 2019 harus dijadikan evaluasi khusus. Pemilu dengan 5 kotak ternyata mengisahkan banyak persoalan. Kemudian pemilihan kepala daerah dan DPRD secara serentak akan memperkuat posisi DPRD berdasarkan fungsi dan kedudukannya.
UU 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah menyebut DPRD sebagai bagian dari urusan penyelenggaraan Pemerintah daerah. DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang tidak sama. Untuk pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan dilakukan oleh DPRD, sedangkan pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah adalah kepala daerah.
Hal ini menerangkan bahwa DPRD bukanlah lembaga legislatif yang membuat UU. Legislatif adalah the power to make the laws. DPRD tak punya kewenangan soal itu. UU nomor 12 tahun tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan memisahkan kedudukan UU yang menjadi kewenangan DPR dan Perda yang menjadi kewenangan DPRD.
Keempat, sikap itu akan mengurangi beban APBD dalam pembiayaan Pilkada. Pasal 166 ayat (1) UU pilkada mengatur bahwa pendanaan kegiatan Pemilihan Kepala Daerah dibebankan kepada APBD. Pembiayaan Pilkada 2020 dipertegas melalui Permendagri 54/2019 Tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati & Wali Kota yang bersumber dari APBD. Kebijakan ini bermasalah pada tiga aspek.
a). Pembiayaan pembangunan daerah dan pelayanan publik terganggu karena anggaran harus berbagi dengan pembiayaan Pilkada.
b). Kontrol Pemerintah pusat terhadap efesiensi perencanaan anggaran Pilkada tidak maksimal karena keadaan dan kebutuhan masing-masing daerah berbeda satu sama lain.
c). Antisipasi gejolak politik di daerah yang menghambat pencairan NPHD. Sampai hari ini masih ada beberapa daerah yang tersendat dalam melanjutkan tahapan. KPUD Waropen, Papua terpaksa menghentikan tahapan karena masalah hibah yang belum tuntas. Kini PPK di daerah itu belum terbentuk sementara tahapan verifikasi faktual dukungan calon perseorangan sudah sedang berjalan dan kemudian dilanjutkan dalam pemutahiran data pemilih.
Di Minahasa Selatan, Sulut anggaran Pilkada belum tertata dalam APBD akibat gejolak politik di DPRD setempat. Pembiayaan Pilkada melalui APBN bisa menjadi solusi atas tiga permasalahan diatas. Kelima, sikap MK bisa mendorong Pilkada menjadi lebih efesien. Tujuan pemilihan adalah untuk mendapatkan aktor-aktor perumus dan eksekutor kebijakan yang profesional dan bermoral. Jika yang terpilih bukan demikan maka wajar jika negara ini masih terjerumus dalam kemiskinan dan kesulitan. Jika sistim model pemilihan seperti saat ini ternyata masih menghasilkan aktor-aktor korup dan tidak inovatif seperti sekarang maka tidaklah mustahil jika ada alternatif model pemilihan lain.
Peneliti Leiden University Belanada Ward Berenschor menggagas mengapa perlu mengintegrasikan pemilu dan pilkada. Dalam buku Democracy For Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia, Ward mengusulkan parpol peraih suara terbanyak di pileg sekaligus menjadi parpol pemenang Pilkada.
Gagasan ini memang tidak mudah untuk diterima, apalagi Indonesia tidak menganut sistim pemerintahan parlementer. Tapi apapun sistim pemilihannya, saya setuju dengan Ward bahwa, pemilihan harus berdampak pada kinerja pemeritahan.
Revisi UU Pemilu menjadi salah satu agenda politik DPR RI tahun ini. Sikap MK ini bisa menjadi modal politik DPR untuk tidak lagi membuat pemilu dan Pilkada dalam ruang yang berbeda. Satu-satunya kemungkinan yang bisa menghambat DPR RI adalah tafsiran pasal 22e UUD 1945 bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.(*)
Komentar