Kisah Haru Keluarga Lawan Covid-19, Bersyukur Jadi Kunci Kekuatan

MANADO, NEWS10 Dilihat

MANADO, Manadosiana.net – Wabah Covid-19 menyebar hampir ke seluruh dunia, tidak hanya perekonomian dan pariwisata yang terdampak. Semua sektor kehidupan pun merasakan keterpurukan.

Di lain sisi, wabah Covid-19 ini juga menyisakan cerita haru seorang bapak yang mempunyai istri seorang tenaga medis yang merawat pasien Covid-19. Mereka harus berpisah sementara dari demi seorang istri yang menjadi garda terdepan menangani Covid-19.

Josef Kairupan, S.IP., M.Si, adalah seorang kepala keluarga yang patut dijadikan panutan, dirinya tetap setia menjadi seorang suami menemani istri yang kesehariannya berhadapan dengan pasien Covid-19.

Meskipun pada saat di awal wabah ini terjadi, dirinya pernah meminta sang istri yang berprofesi sebagai seorang perawat di RSU GMIM Pancaran Kasih untuk berhenti sejenak demi kesehatan dan keselamatan keluarga, mengingat kedua anak mereka masih balita, dan juga ada orang tua yang sudah lansia, memiliki riwayat penyakit diabetes dan darah tinggi, namun dengan tegar sang istri menolak, karena terikat dengan sumpah dan janji demi kemanusiaan, demi raga yang lain.

“Dalam keadaan yang berat hati, harus saya akui merasa sedih bahkan bangga dengan keteguhan komitmen seorang istri,” ucap Josef Kairupan.

Mesekipun harus mengorbankan anak-anak dan orang tua, terpisah jauh dari mereka, karena anak-anak mereka harus diungsikan di kampung, Desa Sulu Kecamatan Tatapaan, Minsel, anak-anak yang dalam masa lucu-lucunya, bahkan sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang tua.

“Hal ini dilakukan semata-mata untuk mengantisipasi agar orang tua dan anak-anak tidak terjangkit karena istri bisa saja menjadi carrier (pembawa virus) walaupun tidak menunjukkan gejala (OTG)” katanya.

Kairupan yang juga merupakan seorang pengamat kebijakan publik ini mengatakan jika pemerintah daerah ‘care’ terhadap tenaga kesehatan yang sedang merawat pasien covid-19, seharusnya disediakan rumah singgah.

“Namun kenyataannya bagi perawat di RSU GMIM Pancaran Kasih tidak ada” ujarnya.

Keputusan telah dibuat, kehidupan harus dijalani, dengan segala konsekuensi yang harus dihadapi. Campur aduknya perasaan dengan rasa rindu yang tak terbendung kepada anak-anak.

“Melalui telepon sambil menangis mereka bertanya, kenapa papa mama kase tinggal torang dikampung? rindu papa mama,” ucap kedua anaknya.

“Sangat teriris hati ini mendengarnya, namun harus tetap berusaha tegar,” ucap Josef.

Rasa kuatir pula harus dirasakannya setiap hari, setiap saat mengingat sang istri yang harus berjuang merawat para pasien yang terkonfirmasi positif covid-19, sangat rentan sekali untuk tertular, walaupun menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap sekalipun, tidak menjamin bebas dari penularan virus, karena buktinya sudah beberapa tenaga kesehatan yang sama bekerja terindikasi positif terinfeksi covid-19.

Bertambah pula rasa kuatir ketika mengetahui bahwa dimasa awal pandemi ini kesiapan pemerintah dan RS untuk menyediakan APD masih sangat minim sekali, sehingga pernah terjadi penggunaan APD yang ‘cuci pakai’, membeli sendiri masker N95 yang harganya sangat mahal, karena dari RS tidak semuanya bisa dipenuhi.

“Pergumulan, ujian dan tantangan masih berlanjut,” ujarnya.

Dikala pandemi ini terjadi penurunan jumlah pasien umum, biasanya sebelum pandemi pasien yang hanya sakit ringan bisa dilakukan rawat jalan memaksa untuk dirawat inap, tetapi terjadi kebalikannya saat pandemi, pasien yang kondisinya harus dilakukan rawat inap bersikukuh untuk rawat dirumah menandatangani persetujuan ‘pulang paksa’.

Hal ini mengakibatkan berkurangnya penerimaan RS, yang berimbas pada pemberian kompensasi berupa tunjangan-tunjangan belum dapat dicairkan, hanya sebatas gaji karyawan yang dapat dibayarkan, kebijakan pemerintah untuk memberikan insentif kepada tenaga kesehatan yang merawat pasien covid19, sampai saat ini belum dapat dinikmati, sehingga harus lebih ketat dan selektif untuk memenuhi kebutuhan hidup.

“Namun sekali lagi saya harus berusaha tegar,” jiwa juangnya sangat kuat.

Josef mengatakan kehidupan ini adalah anugerah Tuhan yang luar biasa, harus diperjuangkan, tidak boleh menyerah, walaupun imbas dari hal ini adalah harus menjalani karantina mandiri dirumah, karena kontak erat resiko tinggi (KERT) dari sang istri tenaga kesehatan yang sedang merawat pasien terkonfirmasi positif Covid-19.

“Menjalani hidup keseharian dirumah merawat istri agar tetap kondisi yang maksimal, saya tidak ijinkan bekerja, karena saya sendiri yang menggantikan peran ibu rumah tangga, menjadi ‘suami pengurus rumah tangga’ membersihkan rumah, memasak, cuci baju, cuci piring, merawat tanaman, menyelesaikan pekerjaan kantor, membuat tulisan dan lain sebagainya,” ceritanya melalui media daring, jumat (19/6/2020).

“Bersyukur kepada Tuhan, pemeliharaan Tuhan sempurna dalam kehidupan keluarga saya, sampai saat ini masih diberikan kesehatan, kekuatan dan kemampuan baik istri, anak-anak, bahkan orang tua di kampung,” tuturnya.

Josef yang juga merupakan seorang pelayan Tuhan dengan begitu bersyukur karena tidak ada stigma negatif dari jemaat, meskipun dirinya terus berdampingan dengan istri yang kontak erat dengan pasien Covid-19.

“Tuhan membela perkara orang benar yang dengan tulus ikhlas melakukan misi kemanusian, sehingga tidak ada stigma negatif di jemaat dan masyarakat, mereka justru mendukung, memberikan support, penguatan dan saling mendoakan,”

Dengan bermodalkan hikmat yang Tuhan berikan kepadanya dan sang istri, agar sadar diri mengurangi interaksi dengan jemaat dan masyarakat, walaupun ada pertentangan dalam hati, kerinduan untuk melayani, kunjungan pelayanan doa kepada jemaat tidak dapat dilakukan, karena sadar bahwa banyak jemaat yang rentan kesehatannya (para lansia, anak-anak, komorbit) dapat saja tertular virus ini.

“Sehingga diputuskan untuk tetap berada dirumah untuk melayani dan mendoakan jemaat, sebab dalam situasi sesulit apapun tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus,” ucapnya dengan penuh keyakinan.

Para jemaat dan masyarakat sering mengatakan bahwa tenaga kesehatan adalah para pahlawan kemanusiaan, namun bagi Josef tidaklah selayaknya diperlakukan sebagai pahlawan.

“Sangat sedikit perhatian pemerintah kepada tenaga kesehatan ditengah-tengah perjuangan mereka menghadapi pandemi ini, para tenaga kesehatan harus berjuang lagi memenuhi kebutuhan hidup, ditengah kelelahan mereka, bagi sebagian tenaga kesehatan tidak bisa pulang kerumah, sehingga harus membayar sewa tempat kos, membeli makanan, dan kebutuhan lainnya,” katanya.

Josef menilai hal ini sungguh miris dan tragis perlakuan dari pemerintah yang katanya pahlawan kemanusiaan berjuang sendiri, sering dihina, dihindari, dan dikucilkan, bahkan disaat pahlawan ini gugur karena tejangkit virus yang mereka perangi, tidak pernah ada tanda jasa, nama baik yang pemerintah siapkan untuk dikenang.

“Sedangkan disisi lain keluarga yang ditinggalkan (suami/istri/anak-anaknya) akan terus mengalami kepedihan yang mendalam ditinggalkan seorang yang sangat dikasihi dan tidak pernah akan kembali lagi,” tuturnya.

Bersyukur dalam setiap keadaan, menjadi kunci kekuatan Kairupan dan keluarga menghadapi tantangan yang besar ini, dengan iman dan keyakinan yang teguh sungguh percaya bahwa janji Tuhan akan selalu menyertai kehidupan orang yang percaya karena Tuhanlah pemelihara hidup ini.

“Mungkin ini adalah saatnya, Tuhan berikan kesempatan kepada manusia untuk mengintropeksi diri, baik pemerintah maupun rakyat, berbalik dari jalannya yang jahat, dengan pertobatan sungguh, sehingga Tuhan berkenan mengembalikan keadaan ini, jangan tambah dosa, jangan pandang enteng merasa diri kuat, hebat kebal terhadap virus, tetapi berjaga-jaga, tetap waspada, hargai perjuangan tenaga kesehatan, yang harus mengorbankan segala-galanya demi raga yang lain,” kunci Kairupan.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *