Manadosiana.net, MANADO– Media hingga saat ini masih cenderung tidak adil dalam menulis pemberitaan tentang isu keberagaman gender terutama terkait dengan LGBT. Media bahkan sering melakukan ‘penghakiman’ lewat pemberitaan terhadap komunitas LGBT.
Akibatnya, masyarakat yang membaca malah mendapatkan informasi yang membuat pandangan tentang LGBT kian buruk.
Hal ini terungkap pada kegiatan workshop sehari bertema Keberagaman Gender di Media Dalam Perspektif HAM, yang diselenggarakan di Rumah Singgah, Sarang Inspirasi, Kota Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (19/10).
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Manado, Lynvia Yintzhe Gunde yang membawakan materi Etika Meliput dan Menulis Isu Keberagaman, memaparkan ketidakpahaman dari jurnalis terutama di ruang redaksi tentang keberagaman termasuk soal LGBT, mengakibatkan terjadi misinformasi yang justru menjadi penghakiman untuk LGBT karena ingin judul yang sensasional.
“Belum lagi terjadi persoalan dimana, jurnalis malah lari dari konteksi dalam menulis berita. Seperti berita kriminal, tetapi yang dikaitkan justru adalah orientasi seksual dari pelaku kriminal itu. Ini kan tidak nyambung dan malah membuat informasi yang disampaikan justru seperti penghakiman seseorang,” tutur Lynvia.
Ady Putong, peserta workshop menyebutkan jika perlu pemahaman tentang persoalan keberagaman gender ini. Putong bilang, stigma dan dogma yang ada di pikiran jurnalis ikut mempengaruhi cara penulisan pemberitaan tentang keberagaman gender terutama terkait LGBT.
“Kita perlu pemahaman-pemahaman seperti ini (materi workshop). Jurnalis itu perlu mengetahui dan final dengan diri sendiri dulu terkait pengetahuan keberagaman gender sebelum menulis. Artinya, jurnalis juga harus paham apa yang ditulisnya bukan hanya berdasarkan katanya-katanya,” tutur Putong.
Ronny Buol, editor media lokal di Sulawesi Utara menyebut, Keberagaman Gender adalah hal yang sangat luas dan perlu pemahaman. Dirinya mengusulkan adanya forum yang bisa memberikan edukasi terkait dengan isu-isu tersebut.
“Jangan hanya sebatas jurnalis saja, tetapi bagaimana forum ini bisa berkontribusi memberikan pemahaman terhadap ruang redaksi. Ini perlu, karena jurnalis punya fungsi untuk memberikan pemahaman yang benar,” kata Buol.
Sementara, Rajawali Coco, perwakilan komunitas LGBT Salut (Sanubari Sulut), menyebutkan jika banyak pihak yang seolah-olah paling paham dengan persoalan keberagaman gender, yang sebenarnya tidak tahu apapun soal itu. Dikatakannya, hal ini membuat penyebaran informasi salah terus terjadi.
“Bagaimana bisa, persoalan A dikaitkan dengan C. Itukan tidak nyambung. Dan sekarang itulah yang terjadi. Orang yang tidak pernah berinteraksi dengan komunitas, tetapi kemudian bicara soal komunitas. Apa yang disampaikannya kan pasti tidak benar karena memang tidak tahu apa-apa tapi hanya seolah-olah paling paham,” tutur Coco.
Isa Anshar Jusuf, penggagas workshop menyebutkan jika kegiatan yang merupakan tindak lanjut Training Advisor “Keragaman Gender di Media dalam Perspektif HAM” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini, memiliki tujuan untuk memberikan pemahaman tentang isu keberagaman kepada para editor dan jurnalis di Kota Manado.
Dalam kesempatan tersebut, Isa yang juga membawakan materi tentang Sogie-SC sekaligus memandu setiap materi tentang keberagaman gender, mengharapkan ke depan jurnalis memiliki pengetahuan terkait Sexual Orientation, Gender, Identity Expression dan Sexual Characterisistic, sehingga lebih paham saat menulis isu-isu keberagaman.
“Seorang jurnalis memiliki tanggung jawab memberikan pemberitaan yang benar dan bermanfaat sesuai kode etik. Mudah-mudahan ke depannya, kita semua bisa melaksanakan secara sesuai, termasuk saat kita menulis soal keberagaman gender atau isu LGBT,” kata Isa kembali.
manadobacirita/akarsa
Komentar