Tiga Pakar Sulut Kompak Soroti Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: EBT Jadi Ujung Tombak Ekonomi Daerah

NEWS36 Dilihat

manadosiana.net, MANADO – Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk akademisi di Sulawesi Utara (Sulut). Tiga pakar dari disiplin ilmu yang berbeda—energi, ekonomi, dan komunikasi publik—menyampaikan pandangan senada: arah kebijakan energi pemerintah dinilai sudah on the track, terutama dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT).

Para pakar ini menilai, selain sebagai komitmen global, EBT juga harus dipandang sebagai lokomotif baru yang mampu menciptakan lapangan kerja, menarik investasi, dan menggerakkan ekonomi kerakyatan di tingkat regional.

Reynaldo Joshua Salaki, pakar energi dan dosen Universitas Sam Ratulangi, meyakini pemerintah telah berada pada jalur kebijakan yang tepat untuk mencapai target bauran EBT nasional. Menurutnya, meskipun target 25 persen pada tahun 2025 itu menantang, kebijakan yang ditempuh sudah sesuai dengan rencana jangka panjang.

“Kalau dibilang, ya menuju ke sana. Kami melihat beberapa rencana kerja, termasuk pemasangan energi listrik untuk daerah terluar dan pulau-pulau. Salah satunya untuk melepas ketergantungan terhadap pembangkit listrik tenaga diesel dan menggantinya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS),” ucapnya usai kegiatan diskusi dengan sejumlah wartawan bisnis di Manado dengan tema Besar: Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran dari sudut pandang energi, Rabu (19/11/2025) kemarin.

Dia menjelaskan besarnya potensi di wilayah Indonesia Timur. Sulawesi Utara, khususnya daerah Likupang, sudah menunjukkan contoh sukses dengan adanya solar power yang besar berkat curah matahari yang tinggi.

Reynaldo juga menyinggung adanya minat investor dari Korea Selatan yang ingin berinvestasi EBT dengan skema yang menguntungkan Indonesia.

Dari sisi ekonomi, Dr. Robert R. Winerungan, pakar ekonomi dari Universitas Negeri Manado, menilai kebijakan EBT pemerintah sangat selaras dengan kebutuhan ekonomi masyarakat. Ia menyoroti langkah mendorong biofuel (etanol) serta perluasan infrastruktur listrik desa.

Menurut Robert, pengembangan EBT, khususnya biofuel, memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi pada komoditas pertanian seperti tebu dan jagung, yang merupakan bahan baku utama.

“Kalau harga itu cukup untuk biaya produksi dan memberi pendapatan yang layak, maka akan makin banyak orang yang jadi petani tebu, jagung, dan lainnya. Jadi pengangguran akan berkurang,” kata Robert, melihat adanya multiplier effect di sektor pertanian.

Lebih lanjut, ia menekankan perlunya pemerintah mempermudah regulasi dan insentif untuk menekan biaya operasional. Hal ini krusial untuk menarik investor yang tertarik melihat potensi EBT besar di Indonesia.

Sementara itu, Apriles A. Mandome, pakar komunikasi publik dari Universitas Sariputra Indonesia Tomohon, fokus pada aspek dukungan politik dan pelaksanaan kebijakan. Ia mengapresiasi dukungan pemerintahan Prabowo-Gibran terhadap inovasi EBT, bahkan Presiden telah membahas potensi ini di forum internasional dan mengeluarkan regulasi serta roadmap pendukung.

“Catatan kritis terkait tantangannya sekarang adalah bagaimana para menteri dan lembaga pusat maupun daerah mengimplementasikan kebijakan ini. Dan eksekusi kebijakan di lapangan adalah kunci keberhasilan,” katanya.

Robert Winerungan menutup diskusi dengan sebuah peringatan: EBT adalah sebuah keniscayaan. Jika Indonesia tidak bergerak cepat, negara ini akan tertinggal dan terus bergantung pada energi fosil. “Indonesia bisa menjadi pemain utama internasional jika mampu mengoptimalkan EBT,” pungkasnya.