manadosiana.net, MANADO – Puluhan ahli waris atas tanah seluas kurang lebih 34 hektare di area perumahan elite Citra Land bakal dijadikan perkebunan oleh mereka. Hal tersebut buntut belum adanya kejelasan ganti rugi oleh pihak PT Ciputra Internasional kepada puluhan ahli waris.
PT Ciputra Internasional belum menanggapi surat warga yang isinya menyangkut putusan Mahkamah Agung (MA) dan pemberitahuan Pengadilan Negeri Manado mengenai rencana eksekusi.
“Segala upaya komunikasi dan koordinasi sudah dijalankan pemilik lahan. Karena PT Ciputra Internasional tidak menanggapi, maka kami sendiri yang akan masuk menduduki lahan kami. Tidak ada alasan hukum pihak PT Ciputra bertahan di tanah masyarakat,” tegas Koordinasi 144 warga (pemilik lahan) Sony Woba, kepada wartawan, Jumat (24/6/2022) siang di Manado.
Para ahli waris mengaku geram karena sejak putusan incraht pada tahun 2021 silam, proses pelaksanaan eksekusi belum terlaksana. Padahal biaya ekseksui sudah disetor ke pegawai PN Manado sebesar Rp100 juta lebih.
“Biaya eksekusi sudah disetor. Kami tinggal menunggu eksekusi. Tapi sampai sekarang belum terlaksana,” ujar Sony Woba.
Secara tegas dirinya bilang, tidak ada pilihan lain, kecuali rakyat sendiri yang bergerak menduduki tanah mereka, ketika upaya mediasi dengan PT Ciputra mengalami jalan buntu, lalu PN Manado belum melaksanakan eksekusi.
Sony menjelaskan lahan seluas 34 hektar tersebut telah ditempati warga sejak tahun 1985 silam. Mereka memiliki surat keterangan dari kelurahan, yang dikeluarkan pada tahun 2000. Sementara Bank Pinaesaan di masa itu, mengantongi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang terbit tanpa peralihan hak pada tahun 1994.
Sengketa tanah antara warga melawan Bank Pinaesaan sebenarnya meletus tahun 2001 silam. Konflik itu berlanjut ke meja pengadilan.
Ironis saat perkara antara warga dan Bank Pinaesaan masih berlangsung, terjadi transaksi jual beli. PT Ciputra membeli dari Bank Pinaesaan. Tanah warga sempat dieksekusi pada tahun 2003. Kemudian melalui kasasi di Mahkamah Agung (MA) warga memenangkan perkara pada tahun 2010 silam.
“Kami telah menempati lahan tersebut sejak tahun 1985. Dan tiba-tiba kami digugat. Kemudian rumah kami digusur berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi, yang memenangkan pihak penggugat yakni Ex Bank Pinaesaan, yang mengkalim bahwa mereka memegang HGB. Sedangkan mereka memegang surat HGB, baru pada tahun 1994,” terang Sony.
Ketua Tim Hukum Fahmi Awule & Partners, Fahmi Oksan Awule yang mendampingi Sony Woba dan ratusan warga menjelaskan, Citraland Manado sudah menghilangkan peradaban dan tatanan hidup sosial masyarakat setempat.
“Dulu ada Kampung Winangun. Sekarang sudah hilang,” ujar Fahmi, Jumat malam.
“Sebelum Citraland masuk Manado, di atas tanah itu, masyarakat membangun tatatan hidup, ada istiadat, peradaban sejak zaman nenek moyang,” terang Fahmi.
Pihaknya berharap, Citraland segera angkat kaki dari tanah ratusan warga. Citraland Manado menguasai tanah warga seluas kurang lebih 34 hektar, tanpa melalui prosedur yang sah dan mekanisme pembelian langsung ke warga. Putusan hukum MA mengukuhkan bahwa perusahaan pengembang ini terbukti membeli tanah yang pada masa itu menjadi obyek perkara antara Ex Bank Pinaesaan dan warga.
Ibarat membeli kucing dalam karung, Citraland Manado terbukti membeli dari tangan yang salah setelah MA RI mengeluarkan putusan bernomor 560 K/PDT/2003 Jo. Putusan No. 424 PK/PDT/2009 tertanggal 9 Juni 2010.
Dalam putusan itu, MA membatalkan putusan pengadilan tingkat bawah yang sempat memenangkan Ex Bank Pinaesaan. Dengan begitu, klaim Ex Bank Pinaesaan memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) pupus karena MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Manado, dan Pengadilan Tinggi (PT) bahkan Peninjauan Kembali atau PK.
Fahmi menegaskan, pihaknya sudah memberikan surat himbauan kepada Citraland untuk segera mengosongkan lahan yang menjadi hak warga berdasarkan putusan MA.
“Pasalnya warga sudah dibuat menderita, bahkan dijadikan pengemis di tanah sendiri. Dan kami tidak main-main soal ini, karena kami memegang putusan MA, dan tidak bisa diganggu gugat,” tegas Fahmi.
Pada bagian lain, konflik tanah di kawasan Citraland menyingkap fakta penggusuran rumah ibadah di masa lalu. Sedikitnya empat rumah ibadah pernah tergusur pada tahun 2003 silam. Sayangnya, penggusuran itu berlangsung saat masyarakat sedang berperkara melawan Bank Pinaesaan. Perkara masih berlanjut di tingkat MA, rumah-rumah ibadah itu dibongkar setelah Citraland Manado dan Bank Pinaesaan bertransaksi.
Sedikitnya empat rumah ibadah yang digusur Citraland di masa itu.
“Empat rumah ibadah itu, yakni dua gereja Pentakosta, 1 gereja GMIM dan 1 mushola. Itu terjadi pada tahun 2003,” ujar salah satu pemilik lahan.
Di atas tanah masyarakat itu Citraland Manado membangun patung Yesus, sarana pendidikan, perumahan mewah dan pusat perbelanjaan.
“Ini sangat ironis. Melakukan transaksi pembelian saat tanah masih berperkara. Lalu membangun fasilitas lain,” tandas Fahmi