Aspek Hukum Dalam Pembuktian Tindak Pidana Penipuan Via Ponsel (Hukum Pidana Formil)

Penulis:

Theodorus J.B. Rumampuk, SH.MH

S1 Fakultas Hukum Unsrat

S2 Program Pascasarjana Unsrat  Ilmu Hukum minat   HAM

Kepala Seksi Penerangan Hukum & Humas Kejaksaan Tinggi Sulut.

 

            Kecanggihan ilmu Pengetahuan dan Teknologi saat ini semakin berkembang dengan pesat, hal tersebut juga telah membawa perkembangan yang signifikan terhadap dunia teknologi informasi. Dapat kita lihat dengan adanya internet sebagai media yang sangat penting dalam bidang informasi dan telekomunikasi. Kehadiran internet juga sangat terkait dengan perangkat komputer sebagai alat untuk dipergunakan dalam mengakses jaringan internet diseluruh penjuru dunia dimana jaringan telekomunikasi dapat dijangkau. Tidak ketinggalan juga seiring dengan perkembangan internet dan komputerisasi, telepon seluler atau sering juga disebut sebagai telepon mobil nirkabel, ponsel, wairres HP lahir dengan berbagai jenis yang terus berkembang dengan pesat sehingga menambah income bagi dunia bisnis yang bergerak dibidang telekomunikasi dan telepon seluler. Mungkin kita bertanya-tanya tentang hubungan antara komputer, internet dan telepon seluler dalam dunia teknologi informasi saat ini, secara sederhana dapat dijelaskan hubungan ketiga perangkat tersebut adalah dalam mengoperasikan internet kita harus membutuhkan perangkat komputer sebagai alat untuk mengoperasikan internet begitu pula dengan telepon seluler yang merupakan jaringan telekomunikasi yang dihubungkan pada komputer untuk mendapatkan jaringan internet. Pada perkembangan teknologi saat ini, orang dapat mengakses internet meskipun kita berada dikendaraan, perangkat yang digunakan adalah komputer yang disebut laptop yang disambungkan ke jaringan telekomunikasi telepon seluler dengan penggunaan teknologi CDMA (Circuit Division Multiple akses) yang dikenal dalam layanan Generasi ketiga, 3G.

Sebelum menguraikan lebih lanjut, sehubungan dengan penulisan ini, perlu kiranya diuraikan terlebih dahulu pengertian Teknologi. Dalam Undang-undang nomor 18 Tahun 2002  tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi yang selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang IPTEK pasal 1 angka 2 Teknologi didefinisikan adalah  cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia.

Dari rumusan pengertian yang ditegaskan dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang nomor 18 Tahun 2002 ini terlihat bahwa teknologi merupakan hasil yang diperoleh dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Selanjutnya dalam pasal 1 Angka 1 Undang-Undang ini, ditegaskan tentang pengertian Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif untuk menerangkan pembuktian gejala alam dan / atau gejala kemasyarakatan tertentu.

Dalam hubungan dengan penulisan ini, diuraikan pula pengertian tentang Telekomunikasi. Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi ditegaskan dalam pasal 1 angka 1 tentang pengertian telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan / atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya. Selanjutnya dalam pasal 1 angka 2  Undang-undang nomor 36 Tahun 1999 ditegaskan pengertian Alat Telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi. Dan dalam pasal 1 angka 4 disebutkan Sarana dan Prasarana Telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi.

Dari beberapa ketentuan yang terdapat didalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang IPTEK terdapat keterkaitan dengan telepon seluler, sehingga dapatlah dikatakan bahwa telepon seluler merupakan produk yang dihasilkan dari penerapan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia. Sedangkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dalam pasal 1 angka 2  jika dihubungkan dengan telepon seluler maka dapat dikatakan bahwa telepon seluler merupakan salah satu  alat telekomunikasi.

Penggunaan telepon seluler di era globalisasi saat ini, dapat dilihat sebagai suatu kebutuhan yang sangat penting. Gaya hidup going mobile ini, di mana orang ingin menghubungi dan dihubungi di manapun berada, menyebabkan telepon seluler menjadi alat yang wajib untuk dimiliki dan dibawah kemana saja oleh setiap orang. Peningkatan pemilikan atas telepon seluler memperlihatkan bahwa alat yang digunakan dalam proses komunikasi sekunder ini, selain merupakan barang mewah juga merupakan barang wajib untuk dimiliki. Dari hal tersebut secara langsung dapat dikatakan bahwa telepon seluler sangat penting untuk dimiliki oleh setiap orang apalagi bagi mereka yang mempunyai pekerjaan baik dibidang pemerintahan, pendidikan, bisnis, dsbnya. Akan tetapi seiring dengan perkembangan kecanggihan teknologi tersebut selain memberi dampak positif juga memberikan dampak negatif.

Dampak negatif tersebut adalah apa yang dikenal dengan penipuan dengan menggunakan telepon seluler. Sebagaimana tulisan Penulis sebelumnya pada surat kabar ini dalam rubrik opini edisi 19 – 22 November 2003 dengan judul “Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Penipuan Dengan Menggunakan Telepon seluler” yang juga merupakan Skripsi Penulis, telah dibahas tentang Modus Kejahatan penipuan ini ditinjau dari hukum pidana materilnya.

Dari tulisan ini dapat dikatakan bahwa modus kejahatan ini  sebagai tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHPidana yang berbunyi : “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan mempergunakan sebuah nama palsu atau suatu sifat palsu, dengan mempergunakan tipu muslihat ataupun dengan mempergunakan susunan kata-kata bohong, menggerakkan seseorang untuk menyerahkan sesuatu benda, untuk mengadakan perjanjian hutang ataupun untuk meniadakan piutang, karena salah telah melakukan penipuan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”

Kejahatan penipuan dengan menggunakan telepon seluler melalui salah satu layanan SMS (Short Message Service) telah banyak memakan korban yaitu masyarakat pengguna telepon seluler. Sebagaimana data dalam tulisan sebelumnya tercatat dari data Exelcom yang disampaikan pada pelaksanaan dialog tanggal 20 Agustus 2002 tentang penipuan melelui telepon seluler di Jakarta, yang menghadirkan ahli hukum komunikasi Hinca IP. Panjaitan, Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya Anton Bachrul Alam, General Manager Customer Service Exelcom Wardhani Soedjono dan Dyah Tari dari Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI) terungkap pada periode Januari sampai dengan Juli 2002 terdapat 3.000 pengguna telepon seluler yang mengadukan aksi penipuan. Umumnya pengguna telepon seluler itu nyaris menjadi korban (hhtp://www.kompas.com/kompas%2D cetak/0208/24/nasional/raky06.htm)

            Di Sulawesi Utara dari hasil penelitian dengan cara pengambilan data-data dan wawancara langsung antara Penulis dengan pihak kepolisian di Polda Sulut, Polresta Manado dan Polresta Bitung (khususnya Polsekta Bitung Tengah) pada bulan Februari 2003 dalam rangka untuk penelitian pembuatan Skripsi Penulis di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado, terdapat kurang lebih 4 (empat korban) yang melaporkan kasus ini. Di Polresta Manado yang terdata dari para korban yang melaporkan kasus tersebut pada tahun 2003 sebanyak 3 orang sedangkan di Polsekta Bitung Tengah terdapat 1 (Satu) korban yang melaporkan kepada pihak kepolisian. Sedangkan diluar wilayah Sulawesi Utara, dari data yang Penulis peroleh dari Pusat Dokumentasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang diambil dari berita-berita Koran melalui internet terdapat banyak sekali kasus-kasus tindak pidana ini, yang pelakunya telah tertangkap. Namun meskipun demikian masih banyak lagi pelaku-pelaku lain yang mencobah untuk melakukan penipuan ini sebagai mata pencaharian mereka.

Selain dari data tersebut, berdasarkan pengamatan Penulis selang waktu  bulan November 2003 sampai Februari 2004 di Sulut telah terdapat kurang lebih tiga korban penipuan dengan modus kejahatan penipuan SMS ini. Pada tanggal 19 November 2003 pada halaman 20 diberitakan bahwa seorang ketua KPU Nyaris menjadi korban karena seseorang mengirimkan SMS yang mencatut nama Kapolres untuk segera mentransfer uang kepada pelaku yang mengaku sebagai ajudan Kapolres namun pada kenyataannya tidak benar. Selang beberapa bulan kemudian pada tanggal 25 Februari 2004 dalam rubrik Hukum dan Kriminal halaman 32 surat kabar ini, diberitakan bahwa “Tertipu SMS warga Jerman Hilang Jutaan Rupiah”. Demikian pula pada tanggal 4 Maret 2004 dalam halaman 27 diberitakan dengan judul “ Catut nama Kapolres, Bea Cukai Nyaris tertipu Rp. 10 Juta.

Dari beberapa data yang diperoleh di atas adalah para korban dari kejahatan penipuan yang melaporkan tindak pidana ini, namun mungkin masih banyak korban lain yang tertipu dengan modus kejahatan ini yang hanya bersifat pasrah saja tanpa melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Dari penelitian Penulis terungkap bahwa dalam membuktikan kasus Penipuan dengan modus kejahatan menggunakan telepon seluler melalui salah satu layanan SMS ini terdapat kesulitan dalam hal membuktikannya, karena jaringan para pelaku penipuan ini tersebar didaerah-daerah yang mungkin tidak berada ditempat korban berdomicili, hal lain pula ialah kemudahan untuk mendapatkan kartu perdana yang dapat diperoleh di toko-toko ataupun dari penyedia kartu tersebut sehingga para pengguna kartu telepon seluler tidak memiliki data-data pribadi pada awal pembelian kartu tersebut terkecuali pada pengguna Kartu Halo dari Telkomsel, selain itupula pembuktian dengan menggunakan alat-alat teknologi seperti alat rekaman terhadap jaringan telepon belum diatur oleh simtem pembuktian didalam hukum Acara Pidana di Indonesia. Pembuktian dengan menggunakan alat rekaman terhadap jaringan telopon hanya diberlakukan pada tindak pidana tertentu seperti Pasal 1 angka 18 dan Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundring) dan mulai hangat diperbincangkan oleh ahli-ahli hukum sejak Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme disahkan.

Dari peristiwa hukum ini terlihat bahwa masih banyak pelaku yang mengincar para korbannya. Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas Penulis kembali hendak mengembangkan penulisan ini untuk mengkaji kembali tentang kasus ini ditinjau dari segi hukum pidana formil (Hukum Acara Pidana) khususnya hukum pembuktian Pasal 184 KUHAP. Sebelum menguraikan tentang hukum pembuktian tersebut perlu kiranya dijelaskan bahwa keterkaitan antara kasus penipuan SMS ini dengan pembuktian sebagaimana judul diatas adalah bahwa untuk tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan terhadap setiap kasus-kasus pidana termasuk kasus penipuan SMS ini, sangat diperlukan pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP tanpa pembuktian maka pelaku delik penipuan tersebut tidak dapat dipidana selain itupula pembahasan tentang alat-alat bukti dizaman modern ini Penulis anggap perlu untuk dibahas dalam tulisan ini.

Pada bagian ini Penulis hendak mengkaji terlebih dahulu tentang beberapa teori sistem pembuktian yang dikenal secara umum. Secara teoritis dapat dijelaskan 4 (empat) teori sistem pembuktian yaitu :

  1. Conviction-in Time

Sistem pembuktian Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan dan pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. (M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi Kedua, 1985, hal. 256)

  1. Conviction-Raisonee

Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian conviction-in Time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem convection-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima.

  1. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

Pembuktian ini merupakan kontroversi  dari sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Dalam pembuktian ini peran hakim tidak ikut berperan menentukan salah tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada pembuktian menurut undang-undang. Untuk membuktikan salah tidaknya seorang terdakwa maka harus berdasarkan alat-alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah itulah yang terdapat dalam undang-undang. Dengan kata lain bahwa tanpa alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap kesalahan terdakwa. Sebaliknya ialah jika bukti-bukti yang sah berdasarkan undang-undang telah dipenuhi maka hakim dapat menentukan kesalahan terdakwa.

  1. Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim atau Conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan menurut undang-undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari penggabungan kedua sistem tersebut terwujudlah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Bertitik-tolak dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :

  1. pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang,
  2. dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Asas Negatief Wettelijk Stelsel ini diatur juga dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Setelah dijelaskan beberapa sistem pembuktian sebagai bahan perbandingan, pada bagian ini Penulis hendak mengkaji sistem pembuktian yang dianut dan diatur didalam KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP ditegaskan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dalam rumusan Pasal tersebut sangat jelas bahwa tanpa dua alat bukti yang sah maka seorang terdakwa tidak dapat dipidana. Sama halnya bagi Polri ataupun pihak kejaksaan (kasus Tindak Pidana Tertentu) dalam melakukan penangkapan harus mempunyai bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Akan tetapi sebaliknya apabila terdapat cukup bukti maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah dan dipidana berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukannya.

Dalam Hukum Acara Pidana dipakai yang dinamakan sistem negatif menurut Undang-Undang, sistem mana terkandung dalam pasal 294 ayat 1 RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), yang berbunyi sebagai berikut : “Tiada seorangpun dapat dihukum, kecuali jika hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya”. (Prof. R. Subekti, SH., Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Cet ke 13, 2001, hal. 7).

Berdasarkan rumusan Pasal 294 ayat 1 RIB dapat diberikan pengertian bahwa sistem negatif menurut Undang-Undang tersebut di atas, mempunyai maksud sebagai berikut :

  1. Untuk mempermasalahkan seorang terdakwa (tertuduh) diperlukan suatu minimum pembuktian, yang ditetapkan dalam undang-undang.
  2. Namun demikian, biarpun bukti bertumpuk-tumpuk, melebihi minimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang tadi, jikalau hakim tidak berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa ia tidak boleh mempermasalahkan dan menghukum terdakwa tersebut.

Jadi, dalam sistem tadi, yang pada akhirnya menentukan nasibnya si terdakwa adalah keyakinan Hakim. Jika, biarpun bukti bertumpuk-tumpuk hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa itu, ia harus membebaskannya. Karena itu, maka dalam tiap-tiap putusan hakim pidana, yang menjatuhkan hukuman, dapat kita baca pertimbangan: “bahwa Hakim, berdasarkan bukti-bukti yang sah, berkeyakinan akan kesalahan terdakwa”.

Selanjutnya dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP menjelaskan tentang apa sajakah yang menjadi bukti yang sah menurut Hukum Formil ini. Ditegaskan bahwa Alat bukti yang sah ialah : 1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat, 4. petunjuk; dan 5. keterangan terdakwa. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan satu persatu berdasarkan teori hukum yang Penulis pelajari.

  1. Keterangan Saksi.

Dalam setiap kasus yang bersentuhan dengan hukum, apakah kasus tersebut adalah kasus Pidana, Perdata ataupun Tata Usaha Negara, pembuktian keterangan saksi merupakan hal yang paling utama dalam membuktikan suatu kasus-kasus hukum selain alat-alat bukti lainnya yang dapat menunjang dalam membuktikan suatu kasus Pidana, Perdata maupun Tata Usaha Negara. Dalam kasus Pidana pun dapat dikatakan, hampir tidak ada perkara Pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Sekarang yang menjadi pertanyaan, keterangan saksi yang bagaimana yang disebut sebagai keterangan saksi yang sah ?. Pada bagian ini perlu dijelaskan bahwa agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut :

  1. Bahwa keterangan tersebut harus mengucapkan sumpah atau janji (Pasal 160 ayat 3 KUHAP),
  2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti,

Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang ditegaskan dalam pasal 1 angka 27 KUHAP yaitu : a. yang saksi lihat sendiri, b. saksi dengar sendiri dan bukan saksi hanya mendengar dari orang lain (testimonium de auditu) dan saksi alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

  1. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.

Hal ini memberikan arti bahwa keterangan saksi baru mempunyai nilai sebagai alat bukti apabila dinyatakan disidang pengadilan. (Pasal 185 ayat 1 KUHAP).

  1. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.

Dalam bagian ini ditegaskan bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa maka perlu dilihat mengenai minimum pembuktian sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 183 KUHAP. Selanjutnya pula ditegaskan dalam pasal 185 ayat (2) KUHAP bahwa “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya” (unus testis nullus testis). Jadi untuk membuktikan kesalahan terdakwa maka harus memiliki sekurang-kurangnya dua alat bukti yang berdasarkan hukum yang berlaku.

  1. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.

Pada bagian ini hendak menjelaskan bahwa meskipun telah terdapat dua atau lebih dari saksi sebagaimana dijelaskan pada poin 4 di atas, akan tetapi dua atau lebih saksi yang ada ini memberikan kesaksiannya didepan Pengadilan namun keterangan mereka berdiri sendiri atau berbeda satu dengan lainnya dan tidak memberikan keterkaitan antara satu dengan lainnya maka meskipun secara kuantitatif keterangan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang diisyaratkan dalam pasal 183 KUHAP, keterangan tersebut tidak dapat dianggap sebagai keterangan saksi yang memenuhi unsur pembuktian. Oleh karena itu perlu dilihat bahwa selain “kuantitatif” perlu diperhatikan pula “kualitatif” dari keterangan saksi.

  1. Keterangan Ahli

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP menetapkan, keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Keterangan ahli ini oleh pembuat Undang-undang ditempatkan pada urutan kedua dari keterangan saksi. Hal tersebut menandakan bahwa keterangan ahli merupakan keterangan yang harus diperhitungkan dalam dunia pembuktian mengingat juga dalam ilmu hukum baik hukum pidana, perdata, Internasional, tata negara dan ilmu hukum lainnya, pendapat ahli merupakan salah satu sumber hukum dan diakui secara internasional dalam dunia ilmu hukum, meskipun dalam penerapannya harus dipandang tidak berdiri sendiri dengan alat-alat bukti lainnya. Dilain pihak bahwa mungkin pembuat Undang-undang telah memikirkan bahwa untuk menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi apalagi dalam dunia teknologi telekomunikasi, media, dan informatika atau disingkat teknologi Telematika saat ini, keterangan ahli sangat dibutuhkan untuk memberikan pendapatnya berdasarkan keahlian yang dimilikinya untuk dapat membuktikan bahkan menyelesaikan kasus-kasus pidana yang terjadi. Dapat diberikan contoh dalam kasus-kasus kemajuan teknologi ini adalah apa yang dinamakan dengan Cybercrime yang sering juga dikenal dengan kejahatan siber. Menurut Prof. DR. Tubagus Nitibaskara mengatakan bahwa “Dalam beberapa tulisan ada yang mencoba mengIndonesiakan cybercrime dengan istilah kejahatan siber. Patut diduga, istilah ini lahir dari penyesuaian menurut “lidah” Indonesia. Namun barangkali tidak ada salahnya bila istilah kejahatan siber untuk sementara dipergunakan”. (Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat, Peradaban, 2001, hal 38)

Di Indonesia dengan adanya perkembangan dalam kasus-kasus dibidang Cybercrime keterangan ahli sangat dibutuhkan untuk memberikan kontribusi dalam menyelesaikan kasus dibidang Cybercrime seperti dalam kasus artis terkenal almarhuma Sukma Ayu dan beberapa kasus-kasus lainnya yang membutuhkan pendapat/keterangan dari pakar Telematika maupun pakar hukum. Tentang prosudur permintaan saksi ahli, tata cara pemberian keterangan saksi ahli dalam menyelesaikan kasus tindak pidana di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2, 120, 133, 179, 180 dan Pasal 186 KUHAP. Akan tetapi yang perlu diperhatikan pula tentang siapakah yang dapat menjadi saksi ahli yang dapat memberikan keterangan berdasarkan keahliannya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. Hal tersebut perlu diperhatikan mengingat tidak semua orang dapat dijadikan sebagai saksi ahli dan juga ketentuan tentang Saksi ahli ini hanya dipertegas dalam pasal 186 KUHAP yang menegaskan Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang Pengadilan. Dari pasal tersebut tidak menjelaskan secara terperinci siapa yang dapat dijadikan saksi ahli. Untuk mencari tahu kriteria untuk menjadi saksi ahli kiranya perlu dilihat ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP yang menegaskan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dan juga untuk lebih jelasnya, perlu diperhatikan tentang apa yang ditulis oleh Prof. DR. Andi Hamzah, SH sebagai bahan perbandingan dapat dibaca pada California Evidence Code tentang definisi tentang seorang ahli sebagai berikut :

“ A person is qualified to testify as an expert if he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to qualify him as an expert on the subject to which his testimony relates”.(Seseorang dapat memberi keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya).

      Untuk meminta keterangan saksi ahli dapat dilakukan dalam semua tingkatan pemeriksaan. Baik dalam penyidikan oleh pihak kepolisian RI (Pasal 120, 133 KUHAP), ditingkat penyidikan oleh kejaksaan dan pemeriksaan di Pengadilan sampai mendapat suatu keputusan  hukum yang tetap (Pasal 180 KUHAP). Dalam permintaan keterangan dari seorang ahli juga dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara tulisan maupun lisan sehingga dalam hal ini dapat dilihat bahwa terdapat dualisme tentang tata cara pemberian keterangan oleh seorang ahli. Sebagaimana diatur dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang menegaskan dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. selanjutnya dalam ayat (2) Permintaan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Ketentuan Pasal 133 ayat (1) dan (2) ini biasa dikenal dengan permintaan keterangan ahli yang dituangkan dalam laporan atau “visum et repertum” yang meskipun dalam ketentuan KUHAP tidak menjelaskan tentang kata “visum et repertum” hanya didalam Lembaran Negara tahun 1973 No.350 Pasal 1 dan Pasal 2 yang menyatakan bahwa Visum et Repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksannya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana (dr. Abdul Mun’im Idries, Pedoman Kedokteran Forensik, Edisi Pertama, Binarupa Aksara, hal 3). Sedangkan cara yang kedua yaitu permintaan keterangan ahli secara langsung di hadapan Pengadilan atau secara lisan sebagaimana  diatur  dalam Pasal 179 ayat 1 dan 2, Pasal 180 ayat (1) yang menegaskan Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Selanjutnya Pasal 186  menegaskan Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang Pengadilan.

  1. Alat bukti Surat

Ketentuan tentang alat bukti surat ini diatur dalam pasal 184 ayat (1) bagian c. yang penjabaran selanjutnya diatur dalam pasal 187 KUHAP yang menegaskan bahwa Surat sebagaimana  tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan. Dalam bagian ini jenis surat yang dimaksud seperti surat izin bangunan, surat izin ekspor atau impor, paspor, surat izin mengendarai, Kartu Tanda Penduduk (KTP), akte kelahiran, akta notaris dan sebagainya; c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain. Surat yang dimaksud adalah surat yang bersifat pribadi yang biasanya hanya dibutuhkan sebagai bukti penunjang namun tidak bisa dikesampingkan. Surat tersebut dapat berupa surat menyurat atau korespondensi, surat ancaman, surat pernyataan, surat petisi, pengumuman, selebaran, surat cinta, tulisan berupa karangan baik berupa novel, puisi dan sebagainya. Dalam hukum perdata juga mengenal alat bukti sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana, hanya saja surat yang dimaksud dalam KUHPerdata dibagi dalam dua bentuk yaitu akta Otentik dan akta di bawah tangan. Akta Otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya (Pasal 1868). Yang dimaksud dengan pegawai-pegawai umum yang selanjutnya disebut oleh Prof. Subekti, sebagai  pejabat umum oleh karena pejabat umum bukanlah pegawai negeri yang tunduk pada peraturan kepegawaian. (diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH dalam buku Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal 146). Tentang Pejabat umum (openbaar ambtenaar) diatur dalam pasal 1 Peraturan Pejabat Notaris, untuk selanjutnya disingkat PJN (Reglement op het Notarisambt van Indonesie, S 1860 no. 3), yang berbunyi : “Notaris adalah Pejabat umum (openbaar ambtenaar) satu-satunya yang berwenang (uitsluited bevoegd) untuk membuat akta otentik mengenai suatu perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpannya dan memberikan grosse, salinan, dan kutipannya; semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”. Sedangkan yang dimaksud dengan akta di bawah tangan dalam Hukum Perdata adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan (S 1867 no. 29 untuk Jawa dan Madura sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286 – 305 Rbg dan Pasal 1874 – 1880 KUHPerdata) Surat-surat yang dimaksud adalah akta dibawah tangan, surat-surat daftar (register), catatan mengenai rumah tangga dan surat-surat lain yang dibuat tanpa bantuan pejabat yang berwenang. Jika dilihat dari bukti surat sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 184 bagian c dan Pasal 187 bagian b, c, dan d) dalam menyelesaikan kasus tindak pidana dan bukti surat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1866, Pasal 1868 (akta otentik), Pasal 1874 – 1880 KUHPerdata terdapat sedikit perbedaaan arti karena dalam Hukum Perdata (BW) yang disebut sebagai akta otentik adalah akta yang dibuat oleh Pejabat umum yang tidak tunduk pada Undang-Undang Kepegawaian. Sedangkan bukti surat yang dianut dalam Pasal 187 bagian b KUHAP adalah setiap surat yang dibuat oleh aparat pengelola administrasi dan kebijaksanaan eksekutif. Mulai dari surat izin bangunan, surat izin ekspor atau impor, paspor, surat izin mengendarai, Kartu Penduduk, surat tanda lahir dan sebagainya ((M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi Kedua, 1985, hal. 286) atau dengan kata lain bahwa bukti surat tersebut adalah surat yang dibuat oleh pejabat yang tunduk pada Undang-undang Kepegawaian. Akan tetapi menurut Penulis bahwa dalam menentukan alat-alat bukti dalam menyelesaikan kasus-kasus dibidang Pidana selain bukti yang dimaksud dalam Pasal 187 bagian b dapat juga dianut bukti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata tergantung pada kontekstual penyelesaian kasus dan jenis tindak Pidana, meskipun bukti dalam Pasal 1868 KUHPerdata mungkin hanya dapat membantu menemukan titik terang dalam penyelesaian suatu kasus pidana. Karena bukan suatu hal yang tidak mungkin jika dalam dunia hukum pidana terdapat suatu kasus yang semula adalah kasus Perdata murni akan tetapi berkembang menjadi kasus Tindak Pidana. Seperti kasus Perjanjian Simpan Pinjam (Pasal 1754 KUHPerdata), sewa-meyewa (Pasal 1548 KUHPerdata), Hak kepemilikan atas tanah (UU No. 5 Tahun 1960 – PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah) yang karena ketidaktahuan dari para pihak yang melakukan perjanjian yang mengakibatkan tidak terpenuhinya unsur-unsur sahnya suatu Perjanjian (1320 KUHPerdata) mengakibatkan kasus tersebut menjadi tindak pidana seperti Penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHPidana dan ataupun  Penggelapan  yang diatur dalam Pasal 372 KUHPidana.

  1. Petunjuk

            Petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Bukti petunjuk diatur dalam Pasal 184 ayat 1 bagian d. ketentuan tentang alat bukti petunjuk ini, selanjutnya diatur dalam Pasal 188 ayat 1, 2 dan 3. Dalam ayat (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Mungkin menurut Penulis bahwa untuk memberikan kejelasan tentang makna dari Pasal 188 ayat 1 ini, perlu kiranya dilihat tentang teori sebab-akibat yang juga dikenal dalam lapangan ilmu hukum. Karena untuk memperoleh suatu persesuaian antara satu perbuatan, kejadian atau keadaan harus dilihat terlebih dahulu apa yang menjadi akar persoalan (penyebab) sehingga menimbulkan suatu akibat-akibat hukum. Menurut M. Yahya Harahap mantan Ketua muda bidang Pidana pada Mahkamah Agung Republik Indonesia menulis dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua halaman 292 yang memberikan penjelasannya tentang bukti Petunjuk ini, beliau menegaskan bahwa Rumusan Pasal itu, agak sulit ditangkap dengan mantap. Barangkali rumusan tersebut dapat dituangkan dengan cara menambah beberapa kata ke dalamnya. Dengan penambahan kata-kata itu dapat disusun dalam kalimat berikut : petunjuk ialah suatu “isyarat” yang dapat  ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan di mana isyarat itu mempunyai “persesuaian”  antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. Baik dalam rumusan yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1) maupun  dalam rumusan yang disusun, penekanannya terletak pada kata: “persesuaian”, yakni adanya persesuaian kejadian, keadaan atau perbuatan maupun persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan ialah dalam hal bagaimanakah bukti petunjuk itu dapat diperoleh ? dalam memperoleh bukti petunjuk ini telah diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP yang dapat dikatakan terbatas pada keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Jadi dengan demikian bahwa untuk memperoleh bukti petunjuk ini, penyidik ataupun hakim hanya dapat memperoleh bukti petunjuk dari ketiga unsur diatas tersebut. Namun untuk menentukan apakah bukti petunjuk dapat digunakan dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana, perlu dilihat penegasan Pasal 188 ayat (3) yang menegaskan bahwa Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dari ayat (3) ini dapat dilihat bahwa untuk menentukan bahwa bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana maka faktor penilaian hakim menjadi penentu atas hal tersebut. Dari Pasal 188 ayat (3) ini sangat berkaitan dengan penjelasan Penulis sebelumnya tentang teori ConvictionRaisonee yang pada intinya menekankan pada faktor keyakinan hakim akan tetapi keyakinan (Conviction) tersebut harus didasarkan pada alasan (reason) yang dapat diterima berdasarkan logika hukum. Karena dalam hal ini, hakim sebagai decision maker dituntut untuk lebih professional dalam menerapkan peraturan-peraturan dan pertimbangan-pertimbangan yang penuh arif  bijaksana dan mengutamakan prinsip Keadilan dalam menyelesaikan setiap kasus-kasus Pidana yang terjadi demi tegaknya hukum yang berlaku.

  1. Keterangan Terdakwa

            Tentang Keterangan terdakwa telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf e. sedangkan penjabaran selanjutnya diatur dalam Pasal 189 ayat (1), (2) dan (3). Ayat (1) dari Pasal ini berbunyi : keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Dalam hal ini tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Keterangan terdakwa yang dapat digunakan sebagai alat bukti adalah keterangan terdakwa yang dinyatakan disidang Pengadilan. Hal ini berarti bahwa keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang Pengadilan (The Confession Outside the Court) tidak dapat digunakan sebagai alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini. Akan tetapi perlu diperhatikan pula terhadap keterangan terdakwa yang diberikan pada waktu pemeriksaan pada tingkat penyidikan baik oleh pihak kepolisian maupun kejaksaan. Pemeriksaan tersebut adalah jelas-jelas terjadi diluar sidang pengadilan. Yang menjadi pertanyaannya ialah apakah keterangan terdakwa tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf e dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP ? jawabannya dapat kita lihat dalam Pasal 189 ayat (2) Undang-undang ini, yang menegaskan : keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Dari rumusan tersebut dapat dikatakan bahwa keterangan terdakwa yang diberikan pada saat Penyidikan adalah keterangan yang dapat digunakan dalam membantu menemukan bukti disidang Pengadilan. Hal itupun harus didukung oleh alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP (Pasal 189 ayat 4). Hal ini cukup beralasan karena Hukum Acara Pidana Indonesia mengenal adanya asas minimum pembuktian dalam menentukan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. karena suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat dijatuhi pidana apabila tidak memenuhi ketentuan minimum pembuktian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP begitu pula dengan penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP).

Dari teori pembuktian dan hukum pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, maka dapat dikaji bagaimana membuktikan kasus tindak Pidana Penipuan dengan modus kejahatan menggunakan telepon seluler ini. Sebagaimana tulisan Penulis sebelumnya tentang kasus penipuan ini dapat dilihat modus kejahatan tersebut yang pada tulisan ini Penulis akan menghubungkannya dengan alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP tentang Hukum Pembuktian.

Tindak kejahatan penipuan ini, modus operandinya menggunakan 2 (dua) cara yaitu menghubungi dengan menelpon langsung calon korban dan mengirimkan pesan singkat / SMS melalui telepon seluler. Inti dari komunikasi langsung dan pesan singkat tersebut adalah memberitahukan bahwa korban mendapatkan undian dari salah satu perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi seperti  Telkomsel, Satelindo, Pro XL dll.  Pesan singkat atau berita yang disampaikan, selengkapnya berbunyi “ Sim Card MENTARI anda saat ini, dalam status  peraih GRAND PLUS Box point reward 2003 u/info : (08155265677) (08155248227). Layanan Interaktif Via Telepon. Pengirim : + SATELINDO”. Atau juga tertulis dalam SMS “Selamat Anda Memenangkan Hadiah undian Pro-XL, Hub: 0818684377, 0818481791, atau 0817134953. Dan dari pesan tersebut pada menu kotak masuk  pesan (Message) akan menampilkan pengirim adalah nomor telepon seluler dari pelaku dan bukan nomor operator GSM  seperti Satelindo, Pro.XL, Telkomsel dan lain-lain.

Selain mengunakan pesan singkat (SMS), pelaku juga seringkali dalam melakukan penipuan dengan cara menghubungi langsung melalui telepon seluler ke telepon tetap (fixed line) milik calon korban. Dalam pembicaraan biasanya pelaku seakan-akan memberitahukan bahwa korban telah memenangkan undian yang diselenggarakan oleh salah satu perusahaan yang bergerak di bidang Telekomunikasi. Calon korban pun diberitahukan nomor telepon seluler yang dapat dihubungi untuk pembicaraan selanjutnya dan nomor rekening pelaku.

Untuk membuka nomor rekening di beberapa bank, para pelaku menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP)  palsu. KTP palsu yang dimaksud adalah  KTP yang dibuat dengan menggunakan nama, alamat yang berbeda-beda. Dengan kata lain bahwa satu pelaku memiliki beberapa KTP dengan nama, alamat berbeda. Selanjutnya setelah pesan singkat ataupun berita yang dikirim oleh pelaku diterima oleh calon korban, kebanyakan para korban merasa penasaran disertai rasa gembira dan segera menghubungi kembali nomor telepon seluler yang mengirimkan atau menghubunginya. Dalam pembicaraan kembali pelaku mulai melakukan berbagai cara dengan bahasanya untuk menipu korban dengan mengatakan bahwa korban akan mendapatkan uang dengan jumlah yang banyak ataupun mendapatkan mobil kijang. Untuk memperoleh hadiah-hadiah yang dikatakan pelaku, korban harus mengirim sejumlah uang yang telah ditentukan dan apabila korban telah meyakinkan bahwa dirinya sebagai pemenang undian maka pelaku memberikan instruksi-instruksi selanjutnya.

Instruksi tersebut berupa perintah pelaku untuk meminta korban ke ATM dan membimbing secara langsung dengan kata-kata berbeda dari intruksi ATM melalui pembicaraan telepon seluler ataupun perintah untuk mentransfer uang secara langsung ke rekening pelaku. Instruksi secara langsung melalui telepon seluler itu terdiri atas perintah untuk mentransfer uang ke rekening pelaku. Akan tetapi korban seakan tidak tahu bahwa perintah tersebut akan merugikannya, karena para pelaku menggunakan berbagai macam cara untuk menipu korban. Kalimat-kalimat yang diperintahkan pelaku misalnya “ketiklah nilai nominal yang akan ditransfer”.  Korban pun langsung melaksanakan perintah itu, karena berpikir jumlah uang yang akan diketik masuk ke rekeningnya. Korban baru sadar setelah proses transfer selesai saat kertas saldo akhir rekening dikeluarkan mesin dan membaca kertas saldo yang berkurang sesuai jumlah uang yang baru ditransfernya.

Sedangkan instruksi untuk mentransfer langsung melalui bank ke rekening pelaku hampir sama dengan instruksi menstransfer uang melalui ATM. Hanya perbedaannya apabila pelaku menginstruksikan untuk menstransfer uang ke rekening melaui ATM, pelaku tersebut membimbing secara langsung dan biasanya korban pun mempunyai telepon seluler sedangkan perintah untuk menstransfer uang ke rekening bank, pelaku hanya memberikan instruksi pada saat pembicaraan korban dengan pelaku dan biasanya cara ini dilakukan pelaku bagi korban yang dihubungi melalui telepon tetap (fixed line) tapi tidak menutup kemungkinan bagi korban yang memiliki telepon seluler.

Dari modus kejahatan Penipuan dengan menggunakan telepon seluler ini dapat dilihat bahwa pembuktian dengan menggunakan alat-alat teknologi seperti rekaman jaringan telepon merupakan salah satu alat bukti yang sangat mendukung dalam membuktikan tindak pidana ini disidang Pengadilan dan sangat membantu pihak penyidik dalam melakukan penangkapan terhadap para pelaku. Akan tetapi untuk sementara waktu ini, alat bukti tersebut belum dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita. Selain itupula Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi tidak mengisyaratkan bagi perekaman terhadap informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi untuk keperluan penyidikan terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya dibawah lima tahun. Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 hanya mengisyaratkan bahwa untuk merekam informasi yang dikirim atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi terbatas pada penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun keatas, seumur hidup, atau mati. Dari ketentuan Pasal 42 ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 maka dapat dipastikan bahwa untuk penyidikan tindak pidana penipuan sebagaimana yang dibahas dalam tulisan ini tidak dapat mengambil rekaman tersebut untuk dijadikan bukti penunjang dan ataupun bukti utama dalam sidang Pengadilan, karena ketentuan Pasal 378 KUHPidana bukan merupakan salah satu dari tindak pidana tertentu dan juga ancaman hukumannya hanya empat tahun, terkecuali dikemudian hari telah ada ketentuan yang baru yang lebih mengakomodir kasus-kasus tindak pidana dibidang teknologi informasi dan telekomunikasi.

Berdasarkan konsultasi Penulis melalui surat kepada salah satu Pakar hukum pidana dan Kriminologi di Indonesia Prof. DR. J.E. Sahetapy, SH, MA, dalam rangka penyusunan Skripsi Penulis tentang bagaimana upaya penyelesaian hukum terhadap kasus Penipuan dengan menggunakan telepon seluler ini, beliau memberikan  tanggapannya bahwa “ perlu dikemukakan dua teori pemberlakuan hukum yaitu ius constitutum, yaitu hukum yang berlaku saat ini dan ius constituendum, yaitu hukum yang berlaku dimasa yang akan datang. Pembuktian melalui jaringan telepon yang sifatnya elektronis secara ius constitutum bukan merupakan pembuktian yang dapat diberlakukan bagi semua penyelesaian hukum. Karena hukum positif kita saat ini tidak mengatur pembuktian tersebut. Aturan hukum  Pidana (Pasal 184 KUHAP) dan Perdata (1866 BW) tidak memfasilitasi pembuktian jaringan telepon yang bersifat elektronis sebagai alat bukti. Hanya saja pengecualian dari pernyataan di atas, dalam beberapa ketentuan hukum kita, sudah ada pencantuman tentang pembuktian dengan menggunakan bukti-bukti elektronik, misalnya dalam Undang-undang tentang Pencucian Uang, Undang-undang Kearsipan dan Keppres No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang secara tegas mengakui alat bukti elektoronik. Namun secara ius constituendum, pembuktian elektronik dapat saja diberlakukan di masa akan datang, seperti yang telah berlaku di banyak negara. Tentunya hukum harus terus berkembang mengikuti keadaan sosio-kultural masyarakat.”

Memang sebenarnya jauh sebelum perkembangan teknologi Telematika hadir menghiasi perkembangan teknologi informatika di Indonesia, Prof. R. Subekti, SH telah menulis tentang alat-alat bukti lain yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian kasus pidana maupun perdata yang dianggap perlu untuk dimasukan kedalam Hukum Formil kita. Dalam bukunya tentang Hukum Pembuktian beliau menegaskan bahwa “Kita juga tidak boleh melupakan bahwa undang-undang yang kita pakai sekarang ini dibuat seratus tahun yang lalu. Dengan majunya teknik yang pesat dalam setengah abad yang lalu ini muncullah beberapa alat-alat baru, seperti fotocopi, tape recorder dan lain-lain yang dapat dipakai sebagai alat bukti.” Akan tetapi sejak Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita dibuat, bukti-bukti tersebut belum dapat ditanggap oleh para pembuat Undang-undang yang karena jabatan dan kewenangannya dapat membuat bahkan merubah Undang-undang sebagai dasar hukum dalam mengatur dan memberikan kepastian hukum di Indonesia.

Undang-undang yang merupakan hukum tertulis kita tentunya hanya merupakan salah satu bagian dari pengertian hukum secara luas. Akan tetapi Undang-undang merupakan dasar untuk mendapatkan kepastian hukum selain hukum tidak tertulis (Hukum adat yang berlaku dimasyarakat adat). Hal ini cukup beralasan karena negara kita juga banyak menganut paham Legalisme seperti dianut oleh para cendekiawan abad ke 15 yang mulai mengilhami tentang ajaran hukum positif meskipun mereka tidak serta merta menolak ajaran hukum alam. Pengaruh paham para cendekiawan tentang pengertian hukum pada zaman modern ini ternyata membawa dampak bagi perikehidupan sosial para cendikiawan dan masyarakat hukum di Indonesia hal tersebut pula ditunjang dengan adanya penjajahan bangsa Belanda kurang lebih 350 tahun yang membawa dampak positif bagi perkembangan hukum di Indonesia termasuk berbagai ketentuan hukum yang ditinggalkan oleh Belanda di Indonesia melalui asas Concordansi.

Asas Legalisme merupakan salah satu paham yang tercantum dalam KUHPidana Indonesia yang merupakan salah satu dari sekian banyak produk hukum peninggalan Belanda seperti halnya ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHPidana yang berbunyi : Suatu Perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada (Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali) selanjutnya ayat (2) ditegaskan Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Penggunaan ketentuan ini sangat berguna dan bermanfaat bagi dunia hukum di Indonesia karena ketentuan tersebut dapat memberikan dan sekaligus menjamin kepastian hukum bagi pencari keadilan maupun penegak hukum dalam menerapkan ketentuan hukum terhadap setiap perbuatan yang melanggar hukum. Akan tetapi sekaligus juga dapat membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi negara kita manakalah para pembuat Undang-undang tidak cepat tanggap dalam mencermati perkembangan zaman dalam dunia hukum kita. Karena hukum tidak bersifat statis akan tetapi dinamis mengikuti perkembangan sosial masyarakat. Kita dapat mengamati dari segi hukum tentang kejadian terorisme yang melanda bangsa kita yang intinya peraturan perundang-undangan tidak dibuat terlebih dahulu untuk mengantisipasi kejadian atau peristiwa yang merupakan tindak pidana yang membahayakan banyak manusia terkhususnya pada kasus Pemboman di Bali. Kalau ketentuan Pasal 1 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diterapkan dalam menyelesaikan kasus-kasus ini, maka makna dari ayat (1) Pasal ini tentang asas retroaktif (Undang-undang tidak berlaku surut) maka kejahatan terorisme dapat diterapkan Pasal 1 ayat 2 KUHPidana tentang ketentuan yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan ialah bagaimanakah keterangan ahli dapat digunakan dalam menyelesaikan kasus ini ? mungkin untuk waktu sekarang ini, keterangan ahli yang berkaitan langsung dengan keahlian berdasarkan disiplin ilmunya dibidang informasi dan telekomunikasi dapat dipakai untuk membantu pihak penyidik ataupun hakim dalam menyelesaikan kasus ini. Diwaktu-waktu mendatang, apabila Hukum Formil Indonesia telah mengatur tentang bukti-bukti elektronik untuk digunakan sebagai salah satu alat bukti seperti yang telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP, maka khusus untuk menangani kasus penipuan dengan menggunakan telepon seluler ini, alat bukti keterangan ahli dapat digunakan untuk menilai dan membuktikan kebenaran dari berita yang dikirim oleh pelaku dan yang diterima oleh korban melalui pesan singkat (SMS) ataupun bunyi dan atau suara sebagai  bukti yang diperoleh dari rekaman terhadap jaringan telepon.

Selain kedua modus kejahatan di atas, dapat dilihat juga modus kejahatan penipuan dengan menggunakan telepon seluler ini yang menghubungi langsung kepada korban bahwa salah satu anggota keluarga sedang dalam keadaan sakit berat karena kecelakaan tabrak lari. Dari modus tersebut pelaku meminta agar supaya korban harus mentransfer sejumlah uang untuk pembayaran rumah sakit dan biaya pengobatan. Dan jika uangnya tidak segerah dikirimkan maka anggota keluarga yang dimaksud tidak akan tertolong nyawanya. Tentang modus kejahatan penipuan ini dapat dilihat dalam Kompas, 14 Mei 2000 cara lain pula ialah para pelaku sering mencatut nama seorang Pejabat Pemerintah dan bahkan nama dari aparat Penegak Hukum.

Dari modus kejahatan penipuan dengan menggunakan telepon seluler melalui salah satu layanan SMS dapat dikatakan bahwa salah satu alat bukti rekaman terhadap jaringan telepon sangat diperlukan dalam membuktikan tindak pidana ini meskipun alat-alat bukti lain yang telah ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP mungkin telah cukup untuk membuktikan kesalahan dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Akan tetapi dengan belum diakomodirnya alat bukti rekaman secara elektronik tersebut bukan merupakan halangan bagi pihak aparat penegak hukum untuk memberantas tindak pidana penipuan ini. Karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tentang modus kejahatan tindak pidana ini, dapat dilihat bahwa dengan cara pelaku memberikan nomor rekening pada salah satu bank sebagai tempat untuk mentransfer uang kepadanya, maka dapat diselidiki asal-usul pelaku dan data-data dari pelaku meskipun dalam Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menjamin kerahasiaan dari nasabah bank. Akan tetapi dalam Pasal itupula terdapat pengecualian terhadap kerahasiaan itu apabila untuk kepentingan penyidikan dalam perkara pidana. Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang No. 10 tahun 1998 ini menegaskan bahwa untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada Polisi, Jaksa atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. Dari data resmi Bank dan keterbuktian bahwa nomor rekening bank memang benar-benar milik pelaku, dan salinan bukti slip penyetoran dari korban ataupun hasil register transfer uang melalui ATM kerekening pelaku yang kesemuanya dibuat dan disahkan oleh pejabat bank Indonesia yang karena jabatannya dapat mengesahkan dokumen tersebut maka dapat dikatakan bahwa surat-surat tersebut dapat dijadikan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) bagian c tentang surat.

Selain itupula keterangan saksi dapat dijadikan pembuktian yang utama dalam kasus tindak pidana ini. Hanya saja yang menjadi pertanyaan bagaimanakah keterangan saksi dapat dijadikan bukti dalam modus kejahatan penipuan ini ? untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat melihat tentang bagaimana pengungkapan kejahatan ini sebagaimana yang telah disiarkan oleh salah satu stasiun Televisi swasta RCTI dalam Sergap edisi Minggu 7 Maret 2004. Secara ringkas dapat diceritakan bahwa komplotan penipuan dengan modus operandi mengirimkan pesan singkat yang mengiming-imingkan hadiah berupa sejumlah uang, voucher isi ulang, kendaraan kepada korbannya. Namun dalam hal ini, bukan korbannya yang langsung melapor kepada pihak kepolisian akan tetapi aksi penipuan mereka ternyata telah diketahui oleh sejumlah masyarakat yang tinggal dekat rumah kontrakan dari para pelaku tindak pidana ini. Dari kecurigaan tersebut masyarakat pun langsung melaporkan kepada pihak kepolisian untuk mengungkap kegiatan yang melanggar hukum yang dilakoni oleh para pelaku itu setiap hari. Dan ternyata dari hasil laporan masyarakat pihak aparat kepolisian langsung mengadakan penyidikan dan hasilnya aparat kepolisian bersama sejumlah masyarakat diwilayah itu menggeledah rumah para tersangka tersebut. Dalam hal ini pihak kepolisian menyita berbagai perlengkapan yang diduga digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan yaitu sejumlah Handphone, sejumlah kartu telepon seluler, buku bank dengan rekening bank yang berbeda-beda, beberapa Kartu Tanda Penduduk atas nama satu orang dan setelah diadakan pengembangan penyidikan ternyata aksi para pelaku telah banyak memakan korban. Dari ringkasan berita pengungkapan kasus tersebut, dapat dikemukakan kembali keterkaitan antara bukti saksi dengan sejumlah masyarakat yang telah lama mengincar aksi para pelaku dan rangkaian penyelidikan sampai pada penangkapan para pelaku tersebut. Masyarakat yang menaruh kecurigaan bahkan yang melihat langsung aksi para pelaku sampai penggeledahan serta penangkapan pelaku oleh pihak kepolisian, dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan salah satu alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) bagian a, asalkan keterangan-keterangan tersebut dapat diberikan dihadapan sidang pengadilan.

Selanjutnya, dari serangkaian penangkapan, penyidikan dari pihak kepolisian maka dapat diperoleh data-data yang dapat menunjukkan / membuat terang suatu tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka yang dapat berupa keterangan tersangka kepada pihak penyidik. Keterangan tersebut dapat berupa penjelasan dari para pelaku yang diberikan pada saat penyidikan oleh pihak kepolisian tentang perbuatan / kejadian yang mereka alami dan lakukan seperti keterangan para pelaku yang diberitakan oleh surat kabar Kompas edisi selasa 13 Agustus 2002. Sebagaimana yang telah diuraikan terlebih dahulu bahwa keterangan tersangka/terdakwa yang diberikan diluar sidang Pengadilan atau keterangan yang diberikan kepada pihak penyidik hanya dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang Pengadilan asalkan keterangan tersebut diberikan saling berkaitan satu sama lain sesuai perbuatan yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa dan didukung oleh alat bukti lain (Pasal 189 ayat 2 KUHAP). Keterangan yang berupa penjelasan dari para pelaku ini dapat dikembangkan oleh penyidik sampai dihadapkannya terdakwa disidang Pengadilan.

Menurut M. Yahya Harahap, SH beliau menjelaskan dalam bukunya bahwa Keterangan terdakwa sedikit lebih luas dari pengakuan terdakwa karena jika ditinjau secara yuridis bahwa pada istilah keterangan terdakwa, sekaligus meliputi pengakuan dan pengingkaran. Sedangkan dalam istilah “Pengakuan tertuduh” , hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran. Oleh karena itu, keterangan terdakwa sebagai alat bukti, sekaligus meliputi pernyataan ”pengakuan” dan “pengingkaran”, dan menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian hakim.  Keterangan tersebut menyangkut aspek kejujuran dari pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka disidang Pengadilan dan sekaligus mengingkari tentang hal-hal yang mungkin dituduhkan tetapi tidak dilakukannya. Keterangan terdakwa yang diberikan secara jujur disidang Pengadilan dapat digunakan sebagai bukti keterangan terdakwa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) bagian e dan Pasal 189 KUHAP.

Selain kasus-kasus diatas dapat pula dilihat ketentuan hukum bagi kejahatan dibidang Cybercrime seperti tindakan pencurian data / dokumen rahasia negara, kartu kredit, penipuan, pornografi dan lain sebagainya yang kesemuanya itu belum mempunyai dasar hukum berupa Undang-undang untuk mengatasinya, termasuk aspek  ketentuan yang mengatur tentang alat-alat pembuktian dalam menangani kasus-kasus tersebut seperti alat-alat bukti modern seperti yang telah Penulis paparkan terlebih dahulu. Selain itupula dapat diperhatikan sehubungan dengan perkembangan Teknologi Informasi dan dunia Perbankan saat ini ialah bagaimanah perlindungan hukum terhadap nasabah pengguna Handphone banking, baik dari aspek kenyamanan (comfortable) dan keamanan (safety) pengguna dari kejahatan perampokan ataupun pencurian terhadap telepon genggamnya, meskipun mungkin belum terjadi kasusnya. Contoh kasus-kasus tersebut merupakan bagian dari kejahatan yang baru  dalam dunia hukum di negara kita termasuk kejahatan penipuan dengan menggunakan telepon seluler ini. Kasus-kasus kejahatan didunia maya tersebut tentunya bukan merupakan hambatan bagi perkembangan dibidang teknologi informasi di Indonesia, akan tetapi yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti ialah bagaimanakah aturan hukum itu harus diciptakan terlebih dahulu dan diterapkan dalam mengantisipasi maupun memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat pengguna dan sekaligus ancaman hukuman yang seberat-beratnya bagi siapapun yang menyalahgunakan perkembangan dan kemajuan dibidang teknologi informasi dan Telekomunikasi ini. Karena bukankah salah satu tujuan politik hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, serta kenyamanan bagi masyarakat  di Indonesia ?

Pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang selalu mampu mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum modern, sebagaimana konsep dari Roscoe Pound yaitu “Law as a tool of social engineering” yang juga diilhami oleh Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LLM. Melalui konsep ini yang mengikuti perkembangan iklim budaya hukum di Amerika Serikat yang orientasinya berdasarkan yurisprudensi (Common Law System). Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 juga dikemukakan bahwa hukum adalah sarana rekayasa masyarakat,. Hukum yang dimaksud disini, perundang-undangan dan yurisprudensi dalam suasana masyarakat industri ke masyarakat informasi, yaitu bahwa hukum mengatur perkembangan teknologi agar teknologi tidak dimaksudkan untuk memusnakan manusia.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut perlu kiranya diperhatikan bahwa untuk mengantisipasi dan dalam memberantas kasus penipuan dengan menggunakan telepon seluler ini meskipun mungkin alat-alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP telah dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan diikuti oleh keyakinan hakim dalam menyelesaikan kasus ini akan tetapi alangkah lebih lengkap lagi apabila alat-alat bukti yang berkaitan dengan teknologi tersebut dapat diakomodir didalam Hukum Acara Pidana Indonesia, dan tidak hanya diberlakukan pada ketentuan / peraturan-peraturan hukum tertentu. Dengan demikian aspek hukum pembuktian dalam menyelesaikan tindak pidana dibidang teknologi dan informasi merupakan salah satu perkembangan pesat didalam dunia hukum kita di Indonesia. Tulisan ini telah dipublis oleh berbagai media lokal dan nasional (hukum on line) serta menjadi bahan kepustakaan dari berbagai karya tulis ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) dari Penulisan ilmiah yang berkaitan dengan Hukum Pidana Formil (Hukum Pembuktian) dibidang Telematika di Indonesia sejak tahun 2004.