(Refleksi Kritis terhadap Wacana Pelaksanaan SMSI GMIM ke 80
dan Rancangan Perubahan Tata Gereja di tahun 2021)
Oleh: Alter I. Wowor
Wacana akan dilangsungkannya Sidang Majelis Sinode Istimewa (SMSI) Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) pada akhir bulan Maret tahun 2021 ini berhasil menarik perhatian berbagai kalangan. Bahkan, tak hanya dari luar, melainkan kalangan internal GMIM juga turut merespon. Munculnya kalangan pro dan kontra terkait penyelenggaraan SMSI semakin memanaskan situasi di tengah suasana orang Kristen di dalam dunia ini harusnya sedang menghayati perayaan masa pra-paskah.
Tulisan ini saya buat bukan dalam rangka mencari siapa benar dan siapa yang salah. Bukan juga untuk mencari siapa menang dan siapa yang kalah. Sejatinya, polemik dalam tubuh GMIM beberapa minggu terakhir ini merupakan suatu gambaran relasi yang tidak sehat dan tak elok terjadi di dalam institusi keagamaan atau kerohanian. Apalagi baik pihak yang pro maupun kontra terhadap pelaksanaan SMSI, di dalamnya terdapat unsur pelayanan khusus, entah pendeta, penatua, syamas, ataupun guru agama.
Pelayanan khusus (ordained minister) sejatinya menjadi teladan dalam perihal berpikir, bersikap, dan bertutur kata bagi jemaat yang digembalakannya. Namun, entah mengapa sebagian pelayanan khusus yang tampil ke permukaan untuk menanggapi wacana pelaksanaan SMSI GMIM tahun 2021 justru terkesan kontradiktif dengan karakter pelayanan khusus yang ideal. Pihak yang satu tidak bersedia untuk berdialog sekalipun sudah dikunjungi di “istana-nya,”. Sementara pihak yang satunya lagi menyampaikan kritik dengan frontal dengan berbagai instrumen dan media yang anti-mainstream. Tentu saja, saya yakin kedua pihak pasti memiliki latar belakang dan alasannya sendiri untuk melakukan apa yang mereka pandang baik, benar, dan tepat.
Ada pepatah klasik yang sudah sering kita dengar bahwa “kejahatan terus terjadi bukan hanya karena banyaknya orang jahat, melainkan karena banyaknya orang baik yang hanya diam.” Berdasarkan pernyataan ini, saya begitu yakin bahwa dalam pusaran kekisruhan wacana pelaksanaan SMSI yang terjadi saat ini, ada begitu banyak orang baik yang justru hanya diam dan mendiamkan. Istilah kekinian yang biasa dipakai, yaitu hanya main aman. Saya hanya berharap agar saya dan siapa saja yang membaca tulisan ini tidak masuk dalam kategori ini. Saya berharap siapa saja yang mengetahui kebenaran terkait wacana pelaksanaan SMSI ini tidak hanya diam seribu bahasa, melainkan bisa memberikan edukasi yang benar kepada sesama pelayan khusus maupun kepada seluruh jemaat GMIM. Saya juga berharap mereka yang sudah tahu kebenarannya namun masih terus melawan nuraninya demi suatu kepentingan, agar kiranya segera sadar dari pilihan dan sikapnya yang keliru.
Untuk menyikapi wacana pelaksanaan SMSI ini, memang hanya akan ada 3 sikap atau pilihan yang bisa diambil, yaitu pro (mendukung), kontra (menolak), atau main aman (skeptis/apatis). Namun, izinkan saya mencoba untuk mendekati permasalahan yang terjadi saat ini berdasarkan disiplin ilmu yang saya tekuni untuk memberikan sejumlah pertimbangan. Kalaupun nanti pandangan saya seakan mendukung salah satu pihak atau sikap yang disebutkan di atas, itu murni berdasarkan perspektif keilmuan saya, bukan berlandaskan pendekatan subjektif – like or dislike.
Saya memiliki tiga pandangan besar untuk mengkaji wacana pelaksanaan SMSI.
A. Berdasarkan legal-formal Tata Gereja GMIM tahun 2016
B. Berdasarkan alur berpikir kalangan Pro SMSI
C. Berdasarkan pendekatan etis- Kristiani
A. Berdasarkan Legal-Formal Tata Gereja GMIM tahun 2016
Ketika saya mengamati perkembangan diskusi terkait wacana pelaksanaan SMSI ini di media sosial beberapa minggu yang lalu, saya mendapati ada seorang pendeta GMIM yang cukup saya kenal dengan akrab mengomentari suatu postingan dengan mengatakan bahwa “Tata Gereja adalah Firman Tuhan dalam bahasa peraturan.” Tentu saja dalam batasan tertentu saya setuju. Penekanan bahwa peraturan gereja idealnya tidak boleh bertentangan dengan Firman Tuhan yang disaksikan lewat isi Alkitab adalah suatu gagasan yang benar. Namun, kita harus hati-hati untuk tidak boleh serta merta untuk menyamaratakan bahwa peraturan gereja adalah Firman Tuhan, sebab hukum/aturan/order/tata gereja bisa saja terdapat kekeliruan dalam perumusan dan penulisannya. Logikannya, tidak mungkin Firman Tuhan itu keliru, sekalipun tata gereja memiliki kekeliruan; tidak mungkin Firman Tuhan menjadi keliru dikarenakan tata gereja itu keliru. Yang pasti saya setuju bahwa peraturan gereja haruslah diterangi oleh Firman Tuhan. Gereja pada dasarnya adalah both divine reality and human reality (memiliki realitas keilahian dan kemanusiaan sekaligus). Oleh sebab itulah, untuk menyusun suatu peraturan gereja, ilmu pengetahuan manusia yang bersumber dari berbagai disiplin ilmu diperlukan sumbangsihnya untuk dijadikan materi pertimbangan dalam menyusun berbagai peraturan gereja yang diharapkan bisa mengondisikan gereja tersebut agar bisa secara efektif dan optimal menjawab tugas panggilan dan perutusannya di dalam bumi ini. Peraturan gereja bukan bermaksud untuk membatasi atau mengekang pergerakkan semua entitas di dalam gereja itu sendiri, melainkan bagaimana peraturan tersebut diharapkan bisa memfasilitasi, mengatur, dan memberdayakan gereja itu sendiri agar bisa menjawab dan melanjutkan karya misi Allah dengan cara yang relevan sesuai kebutuhan zaman.
Kembali ke permasalahan wacana pelaksanaan SMSI. Setidaknya ada beberapa poin penting yang bisa diajukan untuk mempertanyakan legalitas pelaksanaan SMSI yang diwacanakan dalam waktu dekat ini.
1. Peraturan tentang pelaksanaan SMSI diatur secara khusus dan satu-satunya di dalam Peraturan tentang Sinode Pasal 9 ayat 1b, yang berbunyi: “Untuk pokok tertentu atas permintaan Sidang Majelis Sinode dengan persetujuan duapertiga anggota Majelis Sinode yang dilaksanakan dalam bentuk SMS Istimewa.”
Ada beberapa kata kunci penting terkait aturan pelaksanaan SMSI.
Kata kunci yang pertama, yaitu untuk pokok tertentu.
Kata kunci yang kedua, yaitu permintaan.
Kata kunci yang ketiga, yaitu Sidang Majelis Sinode.
Kata kunci yang keempat, yaitu persetujuan.
Kata kunci yang kelima, yaitu anggota Majelis Sinode.
Berdasarkan sejumlah kata kunci yang diurai, maka kita bisa mengajukan sejumlah pertanyaan untuk menguji legalitas pelaksanaan SMSI, sebagai berikut:
a. Untuk pokok tertentu apakah SMS meminta dilaksanakan SMSI?
b. Siapa yang meminta pelaksanaan SMSI?
c. Kapan SMS meminta pelaksanaan SMSI?
d. Kapan SMSI disetujui 2/3 anggota Majelis Sinode?
e. Apakah anggota Majelis Sinode sama dengan Anggota Majelis Sinode Tahunan?
Berdasarkan sejumlah pertanyaan ini, kita bisa secara satu persatu menjawab untuk menentukan legalitas pelaksanaan SMSI.
a. Pokok tertentu apakah yang dimaksud? Jawaban yang tersedia sekarang adalah dalam rangka perubahan atau revisi Tata Gereja GMIM tahun 2016.
b. Harusnya yang meminta pelaksanaan SMSI adalah SMS. Sejauh ini yang meminta (memutuskan/mengusulkan) pelaksanaan SMSI adalah forum Sidang Majelis Sinode Tahunan (SMST).
c. Sejauh ini belum ada keputusan forum Sidang Majelis Sinode yang meminta pelaksanaan SMSI setelah tahun 2018.
d. Sejauh ini belum ada kabar ataupun dokumen yang menyatakan bahwa sudah disetujui oleh duapertiga anggota Majelis Sinode.
e. Anggota Majelis Sinode berbeda dengan Anggota Majelis Sinode Tahunan.
Silahkan menilai dari jawaban sederahana ini untuk mengukur legalitas pelaksanaan SMSI yang diwacanakan akhir bulan Maret tahun 2021 ini.
2. Ada 9 pasal yang mengatur tentang perubahan masing-masing bagian dalam Tata Gereja GMIM tahun 2016 yang isi redaksinya sama, hanya pada bagian Tata Dasar pasal 33 ayat 1 redaksi istilah “peraturan” diganti “Tata Dasar.” Pasal-pasal yang dimaksud adalah
1) Tata Dasar Bab XV, pasal 33 tentang Perubahan Tata Dasar
2) Peraturan tentang Jemaat Bab XV, pasal 54 tentang Perubahan
3) Peraturan tentang Wilayah Bab X, pasal 34 tentang Perubahan
4) Peraturan tentang Sinode Bab XII, pasal 46 tentang Perubahan
5) Peraturan tentang Pelayan Khusus Bab VII, pasal 17 tentang Perubahan
6) Peraturan tentang Pekerja GMIM Bab VIII, pasal 30 tentang Perubahan
7) Peraturan tentang Perbendaharaan Bab V, pasal 13 tentang Perubahan
8) Peraturan tentang Pengawasan Perbendaharaan Bab III, pasal 8 tentang Perubahan
9) Peraturan tentang Penggembalaan, Penilikan, dan Disiplin Gerejawi Bab V, pasal 12 tentang Perubahan
Kesembilan pasal yang disebutkan di atas isi redaksinya adalah sebagai berikut:
1) Perubahan peraturan ini hanya dapat dilakukan dan ditetapkan oleh Sidang Majelis Sinode
2) Usul perubahan dapat diajukan oleh BPMJ melalui BPMW ke BPMS dan selanjutnya diteruskan ke Sidang Majelis Sinode
3) Usul perubahan yang disampaikan oleh BPMS, dapat dibahas jika didukung oleh sekurang-kurangnya duapertiga jumlah anggota Majelis Sinode.
Berdasarkan ketiga ayat pada sejumlah pasal tersebut, ada hal penting yang perlu diperhatikan dan digarisbawahi, yaitu untuk merubah dan menetapkan isi peraturan di dalam Tata Gereja GMIM, baik secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya, hanya boleh terjadi di dalam forum Sidang Majelis Sinode. Tidak disebutkan Sidang Majelis Sinode Tahunan (SMST) maupun Sidang Majelis Sinode Istimewa (SMSI). Sebab, SMST dan SMSI tidak masuk ke dalam urutan keputusan yang diatur di dalam Tata Dasar Bab XIII pasal 31.
Tata Gereja yang merupakan induk dari semua peraturan di dalam tubuh GMIM, sudah sewajarnya harus dirubah dan ditetapkan di dalam forum pengambilan keputusan tertinggi organisasi ini, yaitu di Sidang Majelis Sinode, sebagaimana telah diatur di dalam Tata Dasar Bab IV pasal 17.
Hanya ada satu landasan legal apabila ingin merubah isi Tata Gereja dalam forum SMSI, yaitu hanya apabila forum SMS memutuskan/menetapkan atau merekomendasikan agenda pelaksanaan agenda SMSI setelah berlangsungnya SMS, dengan catatan telah disetujui oleh duapertiga anggota Majelis Sinode.
Berdasarkan uraian ini, silahkan menilai apakah forum SMS tahun 2018 mengamanatkan pelaksanaan SMSI di tahun 2021 atau tidak. Jika memang ada keputusan/ketetapan atau rekomendasi untuk melaksanakan SMSI pada periode pelayananan yang berjalan saat ini, maka pelaksanaan SMSI nanti memiliki dasar hukumnya. Namun, jika tidak pernah ada keputusan/ketetapan atau rekomendasi pelaksanaan SMSI pada forum SMS tahun 2018, maka pelaksanaan SMSI pada akhir bulan Maret tahun 2021 ini tidak memiliki dasar legalitas.
B. Berdasarkan Alur Berpikir Kalangan Pro SMSI
Bagi mereka yang mendukung pelaksanaan SMSI pada akhir bulan Maret tahun 2021 ini beranggapan bahwa pelaksanaan SMSI nanti tidak melanggar Tata Gereja. Forum Sidang Majelis Sinode Tahunan (SMST) yang memutuskan atau merekomendasikan pelaksanaan SMSI dianggap tidak melanggar aturan apapun di dalam Tata Gereja GMIM yang masih berlaku. Sederhananya, para pendukung pelaksanaan SMSI beranggapan bahwa baik Sidang Majelis Sinode yang dilaksanakan empat tahun sekali, Sidang Majelis Sinode Istimewa (SMSI), dan Sidang Majelis Sinode Tahunan (SMST) adalah sama saja sebagai Sidang Majelis Sinode. Dengan kata lain, SMS = 4 tahunan/SMSI/SMST. Pemahaman seperti ini bisa saja dimungkinkan ketika menafsirkan Peraturan tentang Sinode Bab IV pasal 9 ayat 1, yang berbunyi:
1. Sidang Majelis Sinode dilaksanakan:
a. Setiap empat tahun
b. Untuk pokok tertentu atas permintaan SMS dengan persetujuan duapertiga anggota Majelis Sinode yang dilaksanakan dalam bentuk SMS Istimewa.
c. Setiap tahun dalam bentuk SMS Tahunan.
Berdasarkan redaksi dari pasal dan ayat yang dimaksud, jelaslah bahwa memang bagian peraturan ini sifatnya multi-tafsir, apalagi dengan adanya redaksi “Sidang Majelis Sinode dilaksanakan.” Dengan adanya redaksi tersebut, maka ketiga kategori yang tercantum pada ayat 1a, 1b, dan 1c itu bisa dibenarkan sebagai Sidang Majelis Sinode.
Sanggahan Terhadap Alur Berpikir Kalangan Pro SMSI
Sekalipun secara tekstual, ketiga kategori tersebut bisa dibenarkan sebagai Sidang Majelis Sinode, namun ada sejumlah hal yang bisa pertimbangan untuk menegaskan bahwa ketiga kategori tersebut jelas berbeda.
1. Ketika membaca secara saksama redaksi dari ketiga kategori tersebut, maka kita bisa menemukan perbedaan substansinya.
a. Kategori kedua (SMSI) ditentukan oleh kategori pertama (SMS 4 tahunan). Artinya, forum pada kategori kedua bisa terjadi apabila kategori pertama yang memintanya. Dengan kata lain, kategori kedua dimungkinkan terjadi atas seizin atau berdasarkan mandat dari forum pada kategori pertama. Perlu diingat bahwa peserta sidang pada kategori pertama dan kategori kedua adalah sama, yaitu anggota Majelis Sinode.
b. Peserta sidang dari kategori pertama dan kedua berbeda dengan peserta sidang pada kategori ketiga. Peserta sidang pada kategori pertama dan kedua adalah anggota Majelis Sinode, sedangkan peserta sidang pada kategori ketiga adalah anggota Majelis Sinode Tahunan.
c. SMSI (kategori kedua) tidak diatur secara khusus, dalam suatu bab, pasal, atau ayat yang terpisah, sebab apa yang dimaksud dengan SMSI itu sudah jelas.
d. Berbeda dengan SMSI (kategori kedua), SMST (kategori ketiga) diatur secara khusus dalam Peraturan Sinode Bab IV pasal 13. Satu-satunya alasan mengapa SMST diatur secara khusus dan terpisah adalah untuk menegaskan kekhususan atau perbedaannya dengan sidang-sidang lainnya, khususnya terkait tugas SMST itu sendiri (pasal 13 ayat 3).
2. Jika kita serta merta menyamaratakan bahwa ketiga kategori itu sama, maka konsekuensinya semua tahapan dan prosedur, baik SMS yang 4 tahunan sekali, SMSI, dan SMST haruslah sama. Hal itu berarti persiapan Sidang Majelis Sinode yang diatur dalam Peraturang tentang Sinode pasal 8 harus dijalankan tanpa terkecuali. Salah satu contohnya adalah bahwa setiap masing-masing Sidang Majelis Sinode, entah kategori pertama, kedua, ataupun ketiga, terlebih dahulu harus ada konsultasi, lokakarya, seminar, dan simposium sebagai bentuk persiapan sidang. Untuk lebih jelasnya, isi dari pasal 8 yang dimaksud sebagai berikut:
1) Badan Pekerja Majelis Sinode membentuk panitia pelaksana Sidang Majelis Sinode.
2) Badan Pekerja Majelis Sinode menyiapkan laporan pertanggungjawaban, konsep Rencana Strategis (RENSTRA) dan kebijakan perbendaharaan.
3) Badang Pekerja Majelis Sinode bersama perangkat pelaksananya mengadakan persiapan sidang melalui konsultasi, lokakarya, seminar, dan simposium.
4) Badan Pekerja Majelis Sinode mengirimkan hasil evaluasi pelaksanaan Rencana Strategis (RENSTRA), konsep Rencana Strategis (RENSTRA) dan kebijakan perbendaharaan kepada jemaat-jemaat dan wilayah-wilayah 6 (enam) bulan sebelum Sidang Majelis Sinode.
5) Jemaat-jemaat dan wilayah-wilayah membahas hasil evaluasi dan konsep dimaksud pada ayat 4 pasal ini dan hasilnya disampaikan kepada Badan Pekerja Majelis Sinode tiga bulan sebelum pelaksanaan Sidang Majelis Sinode.
6) Badan Pekerja Majelis Sinode mengundang peserta Sidang Majelis Sinode.
Berdasarkan isi redaksi pada pasal 8 ini, kita bisa menyodorkan sejumlah pertanyaan untuk menguji apakah SMS pada ketiga kategori itu memang sama, dan apakah SMSI yang nantinya akan digelar sudah memenuhi tahapan serta syarat persiapan Sidang Majelis Sinode apabila kita mengatakan bahwa ketiga kategori itu sama.
1. Apakah SMST yang digelar pada akhir bulan Januari tahun 2021 lalu dalam persiapannya BPMS mengadakan konsultasi, lokakarya, seminar, dan simposium? (pasal 8 ayat 3)
2. Apakah dalam rangka persiapan pelaksanaan SMSI pada akhir bulan Maret tahun 2021 nanti BPMS mengadakan konsultasi, lokakarya, seminar, dan simposium? (pasal 8 ayat 3)
3. Apakah ada hasil evaluasi pelaksanaan RENSTRA, konsep RENSTRA, dan kebijakan perbendaharaan yang dikirimkan kepada jemaat-jemaat dan wilayah-wilayah 6 (enam) bulan sebelum SMST dan SMSI? (pasal 8 ayat 4)
4. Apakah (ada) jemaat-jemaat dan wilayah-wilayah membahas hasil evaluasi dan konsep yang dimaksud pada ayat 4 pasal 8, dan hasilnya disampaikan kepada BPMS 3 (tiga) bulan sebelum pelaksanaan SMST dan SMSI? (Pasal 8 ayat 5)
5. Apakah dalam SMST, BPMS mengundang peserta SMS atau hanya SMST? (pasal 8 ayat 6)
Berdasarkan sejumlah pertanyaan ini, kita bisa menyimpulkan 2 hal penting, yaitu:
1. Jika, ketiga kategori itu semua adalah SMS, maka pelaksanaan SMST pada Januari 2021 dan SMSI yang akan digelar pada akhir Maret 2021 ternyata tidak memenuhi berbagai tahapan persiapan yang diatur dalam Peraturan tentang Sinode pasal 8.
2. Ternyata memang secara substansial dan fungsional, ketiga kategori Sidang Majelis Sinode itu jelas berbeda, sehingga tidak boleh serta-merta disamaratakan atau disamakan begitu saja. Yang dimaksud dengan Sidang Majelis Sinode sebagai forum pengambil keputusan tertinggi di GMIM adalah Sidang Majelis Sinode yang berada pada kategori pertama, bukan kategori yang kedua apalagi yang ketiga. Hal itu juga berarti bahwa hanya Sidang Majelis Sinode pada kategori pertama (4 tahunan) yang terhitung sebagai keputusan tertinggi sebagaimana diatur dalam Tata Dasar pasal 31 tentang urutan keputusan.
Lalu bagaimana dengan keputusan dan ketetapan yang dihasilkan oleh forum SMSI? Apakah keputusan dan ketetapan yang dihasilkan oleh SMSI tidak bisa diberlakukan karena tidak termasuk dalam urutan keputusan sebagaimana diatur di dalam Tata Dasar pasal 31?
Jawabanya adalah keputusan dan ketetapan yang dihasilkan oleh forum SMSI (kategori kedua) akan tetap dihitung sebagai hasil keputusan dan ketetapan SMS (kategori pertama), sebab SMS sendirilah yang memberi mandat atau yang meminta pelaksanaan SMSI. Sederhananya, agenda untuk melaksanakan SMSI adalah hasil keputusan dan ketetapan (bentuk permintaan) dari SMS.
Dengan demikian, segala keputusan dan ketetapan yang dihasilkan oleh forum SMSI terhitung sebagai bagian dari keputusan dan ketetapan dari SMS itu sendiri, sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi di GMIM.
3. Dalam realitanya, afirmasi yang aktual dan relevan untuk menegaskan bahwa ketiga kategori Sidang Majelis Sinode itu berbeda secara fungsi dan substansinya justru bisa dilihat dari pelaksanaan SMST pada bulan Januari tahun 2021 lalu. Sekalipun bukan merupakan tugas atau fungsinya, SMST waktu itu meminta (memutuskan/ menetapkan) pelaksanaan SMSI pada bulan Maret 2021 dalam rangka merevisi Tata Gereja GMIM tahun 2016 yang masih berlaku.
Faktanya, forum SMST bulan Januari 2021 itu sendiri yang menegaskan bahwa forum tersebut memiliki kedudukan yang berbeda dengan SMSI.
Sebab, jika semua forum SMS derajat dan kedudukannya sama, mengapa untuk merevisi Tata Gereja harus menunggu pelaksanaan SMSI, sedangkan bisa saja dilaksanakan sewaktu SMST agar lebih efisien?
Tentu saja jawaban yang logis untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah bahwa sekalipun sama-sama disebutkan sebagai Sidang Majelis Sinode, namun fungsi dan batasan ketiga kategori SMS tersebut jelas berbeda. Setiap kategori memiliki porsinya masing-masing.
4. Berdasarkan apa yang disampaikan di dalam poin 3 di atas, jelaslah bahwa sangat keliru bahwa Sidang Majelis Sinode Tahunan (SMST) yang meminta (memutuskan/ menetapkan/merekomendasikan) pelaksanaan Sidang Majelis Sinode Istimewa (SMSI). Sebab, tugas dan porsi SMST sudah diatur secara khusus di dalam Peraturan tentang Sinode pasal 13 ayat 3, yang berbunyi:
a. Menjabarkan RENSTRA ke dalam program dan anggaran tahunan
b. Mengevaluasi pelaksanaan program dan anggaran tahunan
c. Menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan di aras jemaat, wilayah, dan sinode
d. Menetapkan waktu dan tempat pelaksanaan SMS Tahunan berikutnya
e. Memilih keanggotaan BPMS, jika terjadi kelowongan
Berdasarkan kelima porsi dan batasan tugas SMST yang diatur dalam pasal 13 tersebut, sudah jelas tidak ada ruang yang memungkinkan forum sidang SMST untuk meminta (menetapkan/memutuskan) pelaksanaan SMSI.
5. Bagi mereka yang pro SMSI, Peraturan tentang Sinode pasal 13 ayat 3c seperti yang tertulis di atas juga menjadi salah satu landasan yang dipakai untuk melegitimasi pelaksanaan SMSI. Padahal jelas sekali bahwa isi redaksi dari bagian tersebut berbunyi: “Menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan di aras jemaat, wilayah, dan sinode,” yang artinya penyelesaian masalah yang ada itu harus selesai di dalam forum SMST tersebut. Logikanya, persidangan SMST tidak boleh selesai apabila masalah-masalah yang dimaksudkan tersebut tidak dapat diselesaikan. Dengan kata lain, SMST adalah forum untuk penyelesaian masalah, bukan forum yang menunda penyelesaian masalah ketika persidangan SMST telah selesai. SMST harusnya menjadi forum untuk menyelesaikan masalah, bukan menjadi forum untuk menangguhkan penyelesaian masalah. SMST harusnya menjadi forum untuk menyelesaikan masalah, bukan menjadi forum yang justru menambah masalah yang baru.
Lagipula yang harus menjadi pertanyaan adalah: apakah memang ada masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan di aras jemaat, wilayah, dan sinode?
Jika memang ada masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan, apakah ada daftar masalah yang tidak dapat diselesaikan aras jemaat, wilayah, dan sinode yang kemudian dibahas di dalam forum SMST?
Apakah untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut sampai harus merevisi Tata Gereja yang masih berlaku?
Yang pasti, Peraturan tentang Sinode pasal 13 ayat 3c terlalu lemah untuk dipaksakan menjadi landasan hukum untuk melegitimasi forum SMST meminta pelaksanaan SMSI.
Berdasarkan uraian pada bagian ini, kita bisa melihat bahwa sejumlah landasan yang digunakan oleh kalangan pro pelaksanaan SMSI ternyata terlalu lemah dan terlalu dipaksakan untuk dipakai sebagai legal standing pelaksanan SMSI pada akhir bulan Maret tahun 2021 nanti.
C. Berdasarkan Pendekatan Etika-Kristiani
1. Berdasarkan disiplin ilmu etika, ada tiga pendekatan dasar yang sering dijadikan landasan untuk menilai, menentukan, atau mengambil sikap etis, yaitu secara deontologis, teleologis, dan situasional. Untuk mengetahui lebih jauh apa yang dimaksud dengan ketiga pendekatan ini bisa ditemukan di dalam berbagai situs website atau blog yang tersebar banyak di internet.
Sederhananya, pendekatan deontologis berkaitan dengan pengambilan keputusan etis berdasarkan hukum/norma yang berlaku. Artinya, yang menjadi standart moralitas adalah peraturan atau hukum yang berlaku. Itulah sebabnya kadang pendekatan etika ini disebut juga sebagai pendekatan etika normatif. Banyak ahli yang mengkategorikan pendekatan ini dipakai untuk menilai apakah suatu tindakan yang dilakukan itu benar atau salah.
Pendekatan teleologis berkaitan dengan pengambilan keputusan etis berdasarkan tujuan akhir yang hendak dicapai. Oleh sebab itu juga, seringkali pendekatan ini dikategorikan sebagai suatu pendekatan untuk menentukan suatu tindakan itu baik atau buruk.
Sedangkan etika situasional bisa dikatakan sebagai pendekatan yang berdiri di tengah, di antara legalisme dan antinomisme. Sederhananya, etika situasional merupakan suatu pendekatan untuk mengambil keputusan etis yang paling tepat berdasarkan situasi konkret yang terjadi dengan mempertimbangkan sebanyak mungkin faktor yang mempengaruhi situasi partikular yang dialami pada saat itu, termasuk mempertimbangkan faktor benar-salah dan baik-buruk. Berdasarkan pemahaman seperti ini, pendekatan etika ini sering dipakai untuk menentukan apakah suatu tindakan yang diambil pada situasi tertentu itu sudah tepat atau tidak.
Berdasarkan ketiga prinsip dasar pengambilan keputusan etis yang dijelaskan secara singkat di atas, bagaimana kita menilai pelaksanaan SMSI pada akhir bulan Maret 2021 mendatang?
Secara deontologis (hukum), pelaksanaan SMSI jelas telah mengabaikan atau telah melawan hukum yang berlaku (Tata Gereja GMIM tahun 2016) sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya pada bagian A (Berdasarkan legal-formal Tata Gereja GMIM tahun 2016) dan sebagian pada bagian B (Berdasarkan alur berpikir kalangan Pro SMSI) di atas. Sederhanananya, pelaksanaan SMSI pada akhir bulan Maret 2021 mendatang bisa dinilai tidak benar berdasarkan pendekatan ini.
Berdasarkan pendekatan teleologis (tujuan akhir), pelaksanaan SMSI pada akhir bulan Maret 2021 mendatang belum bisa diukur apakah memang tujuannya baik atau buruk. Dalam hal ini, yang baik dan yang buruk sifatnya debatable. Artinya, bisa saja tujuan pelaksanaan SMSI pada akhir bulan Maret 2021 nanti berdampak baik bagi sejumlah pihak, namun berakibat buruk bagi pihak yang lainnya. Kira-kira dampak apa sajakah yang akan terjadi apabila SMSI dalam rangka merevisi Tata Gereja GMIM 2016 pada akhir bulan Maret tahun 2021 nanti tetap dilangsungkan? Apakah akan terjadi berbagai konsolidasi atau malah menambah perpecahan di dalam tubuh GMIM? Apakah akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak ataukah hanya bagi segelintir pihak saja? Apakah akan menyelesaikan berbagai permasalahan ataukah justru menambah permasalahan yang baru?
Mari kita renungkan bersama…
Berdasarkan pendekatan situasional, pelaksanaan SMSI pada akhir bulan Maret 2021 nanti apakah sudah tepat berdasarkan situasinya? Menurut saya, jawaban terhadap pertanyaan ini juga masih relatif debatable. Pertanyaan mendasarnya, seberapa darurat atau seberapa pentingkah pelaksanaan SMSI pada tahun 2021 ini? Apakah merevisi Tata Gereja GMIM pada saat ini merupakan suatu urgensi?
2. Menyambung uraian tentang pendekatan etika situasional di atas, secara teologis, apakah wajar atau tepat melaksanakan kegiatan gerejawi yang memakan banyak biaya di minggu pra-paskah terakhir, yang dalam banyak tradisi gereja dimaknai sebagai Pekan Suci atau Minggu Sengsara Yesus Kristus? Apakah suatu kewajaran apabila melakukan kegiatan gerejawi besar-besaran ketika banyak gereja di dunia menyerukan gaya hidup berpuasa dan berpantang selama masa pra-paskah? Apakah para peserta SMST dan SMSI nantinya tidak merasa bahwa kekisruhan yang terjadi akibat wacana pelaksanaan SMSI telah merusak suasana masa pra-paskah di tubuh GMIM yang harusnya semua warga gereja sedang berkontemplasi dan menyesali perbuatan dosanya untuk mempersiapkan diri menyambut perayaan Jumat Agung dan Paskah? Apakah suatu kewajaran ketika jadwal pelaksanaan SMSI berpas-pasan dengan satu hari menjelang perayaan Kamis Putih yang dirayakan oleh banyak tradisi gereja dan dua hari menjelang perayaan Jumat Agung?
Apabila jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas adalah wajar, maka mari kita berefleksi lagi, apakah GMIM masih menjadi gereja yang ideal?
Apakah memang GMIM tidak diajarkan untuk menghargai dan menghormati kalender gerejawi atau perayaan-perayaan besar gereja?
Menurut saya, waktu pelaksanaan SMSI tidak tepat apabila dilaksanakan sewaktu masa pra-paskah, apalagi pada Pekan Suci atau Minggu Sengsara Yesus Kristus. Pelaksanaan SMSI akan mendistorsi pemaknaan Pekan Suci. Sebab, bisa saja energi dan konsentrasi para pemimpin gereja serta para pelsus justru akan terpusat atau terfokus ke dalam pelaksanaan SMSI, dan perayaan Jumat Agung serta perayaan Paskah hanya akan menjadi unsur tambahan pada minggu terakhir masa pra-paskah. Jangan-jangan energi dan pemberian diri yang besar justru terarah ke SMSI, dan energi serta konsentrasi yang tersisa itulah yang nantinya dipakai untuk mempersiapkan Jumat Agung dan Paskah.
3. Ada beberapa hal yang menjadi keberatan saya dengan melihat alur serta durasi waktu yang diberikan terkait tahapan pelaksanaan SMSI. Ada tiga hal yang bisa menjadi entry point gagasan saya, yaitu:
a. Surat pemberitahuan secara resmi tentang pelaksanaan SMSI GMIM ke 80 dengan nomor surat: K.0178/PPD.VII/02-2021 dan konsep perubahan Tata Gereja diedarkan pada 22 Februari 2021.
b. Batas waktu penyampaian tanggapan sampai tanggal 1 Maret 2021 pukul 23.59.
c. Jadwal sosialisasi konsep Perubahan Tata Gereja pada tanggal 15-22 Maret 2021.
Dengan memperhatikan ketiga poin di atas, saya hendak mempertanyakan dan menegaskan beberapa hal yang bersifat etis, yaitu:
1) Bukankah seharusnya jadwal sosialisasi harus terlebih dahulu dibandingkan batas waktu penyampaian tanggapan terkait rancangan perubahan Tata Gereja? Bagaimana bisa jemaat atau pelayanan khusus menyampaikan tanggapan tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu?
2) Apakah dengan membaca saja, jemaat dan pelayan khusus sudah memahami isi seluruh rancangan perubahan Tata Gereja?
3) Apakah waktu seminggu cukup untuk membaca, mempelajari, dan memahami keseluruhan isi rancangan perubahan Tata Gereja hanya dengan membaca, sehingga jemaat atau pelayan khusus kemudian bisa menyampaikan tanggapannya (perlu diingat jemaat dan pelayan khusus juga memiliki pekerjaan dan aktivitas lainnya untuk dikerjakan untuk menafkahi diri dan keluarga)? (22 Februari – 1 Maret)
4) Apakah memang semua jemaat atau pelayanan khusus bisa mengakses rancangan perubahan Tata Gereja dan informasi lainnya di dalam situs https://smsi.gmim.info ? Bukankah tidak semua jemaat dan pelayan khusus yang bisa mendapatkan akun (username dan password) untuk mengakses aplikasi persidangan tersebut?
5) Apakah semua jemaat, pelayanan khusus, atau peserta SMSI nantinya paham untuk mengakses dan mengoperasikan aplikasi persidangan tersebut?
6) Bukankah setelah sosialisasi rancangan perubahan Tata Gereja kepada calon peserta SMSI, para calon peserta SMSI itu berkewajiban juga untuk mensosialisasikannya kepada semua jemaat? Sekalipun ada pelsus yang menjadi anggoata majelis sinode, namun perlu disadari bahwa ada dari mereka yang berasal dari utusan jemaat dan wilayah. Artinya, mereka tidak membawa diri mereka sendiri, melainkan mendapatkan mandataris dari jemaat atau wilayah. Kepentingan anggota majelis sinode dari unsur utusan jemaat adalah untuk menjembatani kepentingan jemaat di mana ia diutus. Jadi, sudah tugas dari anggota majelis sinode perutusan jemaat dan wilayah untuk meneruskan informasi sosialisasi tentang rancangan perubahan Tata Gereja yang telah mereka terima kepada seluruh jemaat dan wilayah di mana ia dipilih untuk diutus.
7) Mengapa demikian? Karena nantinya Tata Gereja GMIM itu milik semua warga GMIM dan berlaku untuk semua warga GMIM. Logikanya, semua warga GMIM memiliki hak untuk ikut andil berpartisipasi untuk menentuhkan arah pelayanan gereja dan nasib mereka sendiri sebagai warga gereja yang diatur di dalam Tata Gereja. Oleh sebab itulah, sosialiasi dan dialog bersama dengan semua jemaat (sidi jemaat) perlu dilaksanakan oleh para anggota majelis sinode dari unsur utusan jemaat dan wilayah yang telah terlebih dahulu menerima sosialisasi dari pihak BPMS atau tim perumus rancangan perubahan Tata Gereja. Dalam forum sosialisasi dan dialog yang diinisiasi oleh anggota majelis sinode unsur jemaat dan wilayah itu bersama dengan para jemaatnya masing-masing akan ditemukan tanggapan atas rancangan perubahan Tata Gereja yang baru.
8) Apabila jemaat tidak diikutsertakan untuk mendapatkan informasi yang utuh dan kesempatan untuk berdiskusi terkait rancangan perubahan Tata Gereja setelah sosialisasi dari tim perumus rancangan perubahan Tata Gereja (pihak BPMS) kepada calon peserta SMSI, maka Tata Gereja tersebut hanya akan bersifat de jure, bukan de facto dalam pelaksanaannya. Sebab, jemaat tidak dilibatkan untuk menentukan nasib gereja mereka sendiri. Oleh sebab itulah, peran anggota Majelis Sinode utusan jemaat dan wilayah harus menginisasi pelaksanaan sosialiasi dan diskusi di tingkatan jemaat.
9) Keberatan saya yang lain adalah bahwa rancangan perubahan Tata Gereja GMIM digumuli secara bersama-sama sebagai satu “keluarga besar” GMIM hanya dalam waktu kurang lebih 1 bulan saja. Atau sejujurnya hanya dalam waktu 1 minggu saja, sebab batas waktu untuk memberikan tanggapan (bahkan tanpa sosialisasi) diberikan waktu sampai pada tanggal 1 Maret sedangkan rancangan perubahan Tata Gereja baru disebar tepat seminggu sebelumnya (22 Februari). Bagaimana bisa dokumen yang mengatur kehidupan GMIM secara keseluruhan hanya dibahas dalam waktu kurang dari 1 bulan?
10) Tahapan yang diatur seperti ini, jelas tidak memberikan peluang dan kesempatan yang besar bagi jemaat untuk memberikan feedback atas rancangan perubahan Tata Gereja yang telah disusun sebelumnya oleh Tim Perumus yang ditugaskan oleh BPMS. Sebab, jika setelah sosialisasi tidak dibuka lagi agenda untuk diskusi atau ruang untuk menanggapi rancangan perubahan Tata Gereja tersebut, maka semakin menegaskan bahwa komunikasi yang terjadi selama ini hanya satu arah saja. Seakan-akan rancangan yang sudah ada tersebut sudah benar, dan tidak perlu ditinjau atau direvisi lagi.
4. Apakah sudah tepat persidangan dalam rangka merevisi Tata Gereja dilaksanakan secara daring (online)? Apakah efektif suatu persidangan dilakukan secara daring? Seberapa siapkah sumber daya manusia yang mengoperasikan berbagai perangkat yang diperlukan? Apakah bisa dipastikan tidak ada gangguan teknis, seperti misalnya jaringan internet, daya listrik, dan aplikasi (software) yang digunakan?
Mengapa pertanyaan ini perlu ditanyakan, sebab direncanakan ada 58 lokasi persidangan nantinya, yaitu 1 di pusat persidangan (Leilem) dan 57 di beberapa tempat yang sudah ditentukan untuk mengakomodir peserta dari sejumlah wilayah.
Apakah bisa dipastikan bahwa para peserta anggota Majelis Sinode di 57 tempat persidangan lainnya bisa mengikuti persidangan yang sementara berlangsung di pusat persidangan dengan kondusif?
Menurut saya, masih banyak orang yang belum familiar dengan penggunaan berbagai media dan instrumen yang internet-based. Sebab, ada begitu banyak faktor yang perlu diperhatikan untuk melaksanakan pertemuan daring, apalagi dalam skala yang besar.
Suatu persidangan idealnya dilaksanakan dalam satu tempat yang sama. Atmosfer yang berada di dalam ruangan sidang tentu saja berbeda dengan tempat lainnya. Tentu saja berbeda suasananya ketika kita menonton pertandingan sepak bola atau balapan MotoGP secara langsung di lapangan atau di sirkuit, dibandingkan kita menontonnya di layar televisi atau handphone. Yang saya maksudkan, kadang pemikiran dan sikap kita bisa saja dipengaruhi oleh faktor emosi atau psikis. Saya yakin keadaan mental atau psikis para peserta yang hadir di Leilem, dan yang hadir di wilayah-wilayah akan berbeda. Oleh sebab itulah, persidangan juga perlu memperhatikan aspek-aspek seperti itu.
5. Apakah benar, baik, dan tepat untuk merevisi dan menghasilkan suatu peraturan yang baru dengan mengabaikan atau mencederai peraturan yang masih berlaku? Bagaimana bisa prosedur yang dilaksanakan jelas-jelas melawan aturan yang berlaku tetapi berdalil untuk menghasilkan suatu aturan yang baru?
Bagaimana bisa Tata Gereja yang baru tersebut nantinya akan diakui dan diterapkan, apabila proses yang menghasilkan dirinya justru inprosedural atau cacat secara hukum? Masihkan Tata Gereja itu bisa disebut sebagai hukum yang berlaku ketika ia dihasilkan dari suatu proses yang melawan hukum? Mari berefleksi..
6. Apakah benar, baik, dan tepat untuk merevisi suatu peraturan yang menjadi dasar keputusan hukum tertinggi dalam suatu organisasi dalam skala yang besar dan yang mempengaruhi aktivitas kehidupan berorganisasi seluruh anggota yang termasuk dalam organisasi tersebut tanpa dilakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap peraturan yang masih berlaku? Apakah wajar Tata Gereja GMIM tahun 2016 yang masih relatif baru diterapkan (5 tahun) dan yang belum pernah dievaluasi ini sudah mendesak untuk direvisi?
Jikapun sudah mendesak untuk direvisi, apa sajakah alasan mendasar sehingga Tata Gereja yang masih berlaku tersebut perlu direvisi?
Apakah suatu kewajaran bahwa untuk merevisi peraturan sekelas Tata Gereja materi yang disebarkan dan dibahas hanya berisi rancangan pasal dan ayat tanpa disertai alasan mengapa ada tambahan atau pengurangan pasal dan ayat pada Tata Gereja tersebut?
Idealnya, sebelum disodorkan rancangan pasal dan ayat yang akan direvisi, ditambahkan, atau dikurangi, harusnya ada sejumlah ulasan pengantar atau pendahuluan sejumlah halaman terlebih dahulu agar siapapun yang menerima naskah rancangan tersebut bisa paham apa yang menjadi substansi permasalahannya, apa landasan filosofis-teologisnya, seberapa urgen Tata Gereja tersebut perlu direvisi, dan apa dampak yang nantinya diharapkan dengan diberlakukannya Tata Gereja yang baru.
Jika langsung disodorkan naskah rancangan Tata Gereja yang langsung berisi bagian pasal dan ayat, maka saya menilai bahwa orientasi pelaksanaan Tata Gereja yang baru nantinya hanya sebatas taat atau patuh terhadap hukum, tidak sampai pada tingkatan untuk sadar dan memahami hukum. Mengapa atau apa yang menjadi tujuan dari suatu hukum itu dibuat dan diterapkan menurut saya lebih penting daripada banyaknya isi peraturan hukum tersebut.
Menurut hemat saya, penjelasan awal atau pengantar tentang mengapa Tata Gereja tersebut penting untuk direvisi merupakan dasar untuk kemudian dijawab atau diterjemahkan ke dalam bentuk pasal dan ayat setelahnya.
Mengapa perlu ada penjelasan awal? Agar supaya menghindari bias fokus. Jangan-jangan tidak ada masalahnya, malah masalahnya yang dicari-dicari. Jangan-jangan penjelasan awal (landasan filosofis-teologisnya) tidak sinkron dengan isi pasal dan ayat setelahnya.
Idealnya, pengantar dan penjelasan terkait substansi permasalahan harus menjadi awal sebelum adanya usulan redaksi dalam bentuk pasal dan ayat. Contoh dalam bentuk sederhananya seperti ini:
a. Masalah: banyaknya kebutuhan hidup dan penunjang pekerjaan yang dibutuhkan oleh para pekerja gereja.
b. Substansi (solusi): penambahan gaji pekerja gereja.
c. Usul redaksi: Diatur dalam Peraturan tentang Pekerja GMIM Bab VI (Biaya Hidup) pasal 17 tentang Penentuan Jumlah Biaya Hidup. Redaksi yang ditawarkan, “para pekerja GMIM akan menerima biaya hidup dan tunjangan berdasarkan analisis kebutuhan sesuai lokasi pelayanan atau berdasarkan beban pekerjaan.”
Berdasarkan contoh sederhana di atas, ketika ada suatu pasal dan ayat yang tercantum di dalam Tata Gereja nantinya, siapapun bisa membuktikan dan memahami apa yang menjadi landasan mengapa pasal atau ayat tersebut harus ada atau tercantum di dalam Tata Gereja. Mengapa landasannya perlu ada, agar supaya pasal dan ayat yang ada di dalam Tata Gereja memiliki legalitas, kekuatan, dan tidak dibuat asal-asalan.
Mengapa proses atau bagian-bagian ini tidak ditemukan di dalam usulan rancangan perubahan Tata Gereja yang baru, satu-satunya jawaban yang memadai adalah karena Tata Gereja tahun 2016 yang masih berlaku saat ini tidak atau belum pernah dievaluasi. Sekali lagi, apakah wajar merevisi suatu peraturan yang belum pernah dievaluasi? Mari merenung…
Berdasarkan semua uraian di atas, saya menilai bahwa pelaksanaan SMSI nantinya bermasalah. Tidak hanya berdasarkan materi legal-fomalny tapi juga secara etis-normatif, pelaksanaan SMSI pada akhir bulan Maret tahun 2021 ini seakan terlalu dipaksakan.
Baik berdasarkan landasan hukum (legal standing), tahapan dan alur pelaksanaan, serta isi rancangan perubahan Tata Gereja yang disodorkan menurrut hemat saya semuanya bermasalah. Lalu mengapa SMSI yang bermasalah tersebut tetap dipaksakan pelaksanaannya? Semoga saja kita mengetahui kebenarannya..
Selamat mempersiapkan diri merayakan perayaan Jumat Agung dan Paskah..
Semoga Allah terus mengasihani GMIM.
P.S:
Tulisan ini saya buat bukan dalam rangka untuk memusuhi gereja atau memusuhi para pelayanan khusus, atau para pendeta secara khusus. Tulisan ini merupakan refleksi seorang jemaat (non-pelsus) GMIM terhadap kekisruhan yang ada di depan mata setiap harinya selama beberapa pekan terakhir, yang justru dalam suasana menyambut perayaan Pekan Suci atau Minggu Sengsara (Minggu Pra-Paskah terakhir).
Tulisan ini saya buat karena rasa kepedulian dan kecintaan saya terhadap GMIM. Jika saya tidak peduli dengan masa depan dan kehidupan GMIM, maka saya akan memilih diam dan menjadi orang yang apatis serta skeptis terhadap dinamika yang terjadi di dalam tubuh GMIM. Sekalipun saya bukan seorang pelayanan khusus, hal tersebut tidak membatasi saya untuk berbuat apa yang saya bisa untuk GMIM.
Tulisan ini adalah salah satu cara saya untuk menunjukkan rasa kecintaan dan kepedulian saya terhadap GMIM yang telah membekali kebutuhan spiritualitas saya sejak lahir sampai pada saat ini. Prinsip saya ketika membuat tulisan ini didasarkan pada salah satu teks Alkitab, yang berbunyi, “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.” (Yakobus 4:17). Teks inilah yang membuat saya tidak tenang untuk berdiam diri ketika melihat kekisruhan yang terjadi beberapa pekan terakhir.
Komentar