Manadosiana.net, Jakarta – Peranan perempuan saat ini tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, tapi juga berperan dalam membina pendidikan dan karakter anak serta bekerja di dunia profesional ataupun terlibat dalam aktivitas di tengah masyarakat. Pernyataan ini disampaikan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Sahat MP Sinurat saat membuka Webinar Nasional bertema “Menjadi Perempuan Tangguh di Tengah Pandemi Covid-19”, Kamis, (20/5/2021).
Diskusi menarik ini terselenggara berkat kerjasama Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan DPP GAMKI yang dimoderatori dosen UKI Eustalia Wigunawati.
“Banyak perempuan-perempuan Indonesia yang saat ini berkiprah di berbagai bidang, sebagai pemimpin di perusahaan, birokrasi, sektor pendidikan, dan lainnya. Kita harus terus mendorong agar semakin banyak perempuan tangguh yang berperan dalam keluarga dan masyarakat,” kata Sahat.
Senada dengan Sahat, dalam sambutannya, Ketua LPPM UKI Aartje Tehupeiory mengingatkan bahwa perempuan memiliki peran vital di tengah keluarga maupun masyarakat.
“Tak terkecuali saat pandemi Covid-19 melanda, kehadiran perempuan mampu memberi pengaruh positif. Oleh karenanya, LPPM UKI dan GAMKI bisa terus bersinergi demi meningkatkan kesadaran perempuan akan keberadaannya di tengah lingkungan,” kata Aartje
Diskusi ini menyepakati bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi salah satu penggerak roda perekonomian Indonesia, terutama di masa sulit seperti saat ini. Hal yang menarik adalah sebagian besar yang terlibat di dalamnya merupakan kaum perempuan. Pun yang terjadi di bidang kesehatan, di mana sekitar 75 persen tenaga medis di Indonesia adalah perempuan. Ini menjelaskan betapa rentannya perempuan terpapar Covid-19.
Fakta itu dipertegas Kepala Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan Covid-19 Sonny Harry B. Harmadi yang menerangkan bahwa kerentanan perempuan tersebut sesuai fakta lapangan yang ditemuinya. Satgas Penanganan Covid-19 mencatat persentase perempuan terpapar, diisolasi, dan sembuh lebih banyak dari laki-laki.
“Menariknya, perempuan memiliki tingkat ketaatan terhadap protokol kesehatan yang lebih baik, sehingga angka kematian perempuan karena Covid-19 justru lebih rendah daripada laki-laki (43,57 berbanding 56,43 persen). Bahkan saat pemerintah mencabangkan program Duta Perubahan perilaku, 60 persen relawannya adalah perempuan,” urai Sonny.
Gugus Tugas Penanganan Covid-19 mengakui, dalam beberapa minggu terakhir jumlah kasus terpapar Covid-19 cenderung menurun. Dimulainya program penyuntikan vaksin Covid-19 menjadi satu alasannya.
“Kami sangat berharap vaksinasi berjalan lancar agar herd immunity atau kekebalan komumal segera terwujud sehingga roda ekonomi masyarakat dapat pulih seperti sediakala,” ungkapnya.
Pendapat lain datang dari narasumber lain, yakni Koordinator Bidang Pembinaan Kelembagaan Promosi dan Kerjasama Peningkatan Produktivitas Direktorat Bina Produktivitas Kementerian Tenaga Kerja, Astri Christafilia Litha.
“Peran ganda perempuan, di tengah keluarga dan masyarakat bukanlah sesuatu yang mudah dijalani. Kedua peran itu dapat berjalan dengan baik, bila perempuan mampu melakukan manajemen waktu serta menjaga diri tetap produktif. Seperti melibatkan diri di UMKM, aktif menulis, atau pun menjadi Youtuber,” terang Astri.
Harus diakui, mewujudkan hal itu tidak mudah. Apalagi persoalan kesetaraan gender masih belum bisa sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Untuk itulah, Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan DPP GAMKI Helen Diana Vida mengajak perempuan untuk mengubah keadaan diawali dengan perubahan pola pikirnya lebih dulu, yaitu dengan membangun konsep diri yang positif.
“Perempuan yang tangguh harus mau memberdayakan diri agar bisa memutuskan sendiri apa yang menjadi masa depannya,” jelas dosen Ilmu Komunikasi UKI ini.
Bias gender masih menjadi masalah bagi perempuan di Indonesia. Hal tersebut muncul sebagai cerminan situasi yang dihadapi masyarakat. Melalui penelitian yang dilakukannya, Sekretaris PSW LPPM UKI Audra Jovani mendapati kasus bias gender terjadi karena nilai sosial, budaya patriarkhi, pemahaman ajaran agama, peraturan yang bias, rendahnya kualitas diri perempuan, serta kurangnya pemahaman pejabat pengambil keputusan tentang isu gender.
“Sebagai solusi, perempuan harus mendapat lebih banyak edukasi tentang pentingnya kesetaraan gender,” pungkasnya.